Bab XIX

35.2K 2K 233
                                    

"Lo mikir apaan? Muka lo kayak orang patah hati" gue menoleh ke Dimitri yang menunduk ke samping. Gue lupa kalau ada dia disini.

"Gue ga patah hati" bohong gue sambil membuang wajah ke depan.
"Ketahuan banget lo bohong."gue pura-pura ga dengar kata-katanya dengan terus mencari pasangan sok mesra.

"Apa yang mau dilihat non. Orangnya udah pergi dari tadi" sindir anak kecil yang sengaja mengejek gue.

"Sejak kapan?"

"Ck! Makanya jangan melamun. Daritadi kali mereka masuk lift. Yuk, kita ke dokter lo" ajak anak kecil yang gue balas dengan mengangguk.

Terasa kursi roda gue didorong ke belakang sedikit dan membelok ke arah ruangan milik istri Raka. Entah berapa kali tatapan perawat yang berpapasan ga hentinya menatap lama ke gue. Lalu mereka cekikkan ke arah sosok belakang gue. Pasti nih anak tebar pesona.

Kami berhenti didepan meja resepsionis dilantai ini. "Tunggu sebentar" ucap Dimitri ke gue.

Dengan meja resepsionis yang tinggi hanya untuk orang berdiri, tentu anak kecil yang bisa menyampaikan jika kami sudah punya janji dengan istri Raka. Gue hanya bisa mendengar kata-kata petugasnya yang mengatakan kami bisa masuk sekarang.

Anak kecil kembali mendorong kursi roda dan menghentikannya di depan pintu ruangan dengan papan nama yang ga sempat gue baca. Begitu pintu itu diketuk, langsung dibuka salah seorang perawat.

"E, ibu Adre ada apa? Apa ada barang yang tertinggal?" Tanya perawat itu yang mengira gue Adre. Lalu terkejut seakan ia tau kalau salah orang saat melihat perut gue ga besar.

"Ma,maaf. Silahkan masuk. Tadi saya salah mengira salah satu..."

"Gue tau" ucap gue ketus. Tentu dia mengira gue Adre. Adre, Adre lagi.
Dimitri mendorong kursi masuk ke dalam ruangan. Akhirnya gue bisa bertemu dengan istri Raka. Dan tentu aja gue mengharapkan kalau ia mengatakan anak gue bisa diselamatkan.

"Selamat sore, ade..la?" Orang yang berdiri dihadapan gue terkejut menatap gue. "Lo Adela itu?"

Siapa sih? Kayak sok kenal sama gue. Oh! Mungkin dia tau gosip orang-orang itu.

"Iya. Raka sudah cerita soal kondisi gue?" Tanya gue tanpa basa basi.

"Y,ya. Cuma sebagian sih. Bisa lihat hasil pemeriksaan kamu?" Tanyanya yang tiba-tiba aja berubah formal.

Gue memberikan amplop ke tangannya. Memperhatikan seksama saat ia membuka dan membaca hasil pemeriksaan gue, melihat hasil rotgen gue.

Ia berjalan mengitari meja dan duduk dikursinya. Tanpa diminta, anak kecil mendorong kursi roda gue ke seberang mejanya.

"Makasih" ucap gue ke anak kecil. "Bisa tinggalin gue sebentar?" Pinta gue ke anak kecil yang merengut.

"Gue juga mau tau hasilnya" protes Dimitri persis kayak anak kecil benaran.

"Dimi, please" mohon gue yang akhirnya membuatnya luluh. Ia keluar dari ruangan istri Raka meninggalkan hanya kami bertiga diruangan.

"Jadi, menurut lo janin gue bisa diselamatkan?" Tanya gue tanpa basi basi untuk kedua kalinya.

Ia menggelengkan kepalanya. Membuat kepercayaan dan keteguhan gue runtuh.

"Aku menyesal harus mengatakan kalau janin ini ga bisa dipertahankan. Ini terlalu bahaya buat kamu. Untungnya untuk ukuran normal usia janin 10 minggu, janin kamu kecil sekali. Jadi saluran sel kamu tidak perlu dipotong apalagi ovarium kamu ga perlu diangkat" jelas istri Raka membuat gue terdiam.

Saluran sel dipotong? Ovarium diangkat? Mendengarnya saja mengerikan. Tetapi itu ga sebanding dengan mendengar kalau janin gue kecil perkembangannya. Seakan ga ingin mencelakai gue.

Love From A to DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang