Bab X

33.2K 2K 131
                                    

Ga kerasa sudah dua bulan gue hidup dengan Dareen. Sudah dua bulan hidup miskin. Dan sudah dua bulan berperang melawan grup tukang gosip.

Ternyata menjalani semuanya ga sesengsara yang gue pikirkan. Memang rasa kesal tiap kali Dareen cuma bisa memerintah, marah-marah, dan membentak kalau gue buat sedikit kesalahan.

Atau sedih setiap kali dia dingin dan sinis ke gue. Mencueki gue seakan gue ga ada. Bahkan di tempat tidur pun seperti ada pembatas kasat mata yang ga boleh gue lewati.

Gue tau dia masih benci dan dendam dengan gue. Sampai-sampai gue jadi pembokat asli. Tukang masak, bersih rumah, cuci pakaian dan piring yang kotor.

Tetapi kadang dia baik. Selalu membela gue di depan grup tukang gosip. Meskipun di rumah gue dimarahin.

Sekarang gue terbiasa dengan itu semua. Tangan gue yang awalnya alergi terkena sabun cuci atau sabun pembersih lantai pun gue tau cara mengatasinya. Bahkan menggoreng pun, gue ga perlu pakai helm dan jaket.

Gue juga punya kerjaan. Sekarang gue jadi tukang rias. Berkat merias bu Mira, tetanggga paling kaya di gang ini, gue terkenal di gang sebelah. Kalau di gang ini semua takut dengan tante Leila kecuali bu Mira.

Banyak pelanggan dari gang sebelah yang suka dengan riasan dan tata rambut karya gue. Meski upahnya ga seberapa, tetapi gue juga diajarin cara memasak yang enak.

Pernah sekali gue pamer ke Dareen kalau gue dapat 100ribu hasil merias. Gue habis-habisan dimarahin. Dilarang kerja. Makanya sekarang gue sembunyi-sembunyi kalau ada kerjaan merias dari Dareen.

Tok tok tok.. Suara pintu menghentikan gue mengepel. Gue melepaskan sarung karet dan membuka pintu.

Sial! Kenapa dia kesini? Orang yang paling ga pengen gue temuin malah nongol di depan gue.

"Siang, Del" sapanya dengan senyuman ramah. Dengan perut yang semakin membesar dari ingatan gue. Dengan cewek psikopat yang masih menempel seperti bayangan.

"Dari mana lo tau rumah ini?" tanya gue dengan suara kecil. Takut Dareen dengar kalau gue pake kata 'lo'.

"Dari ka Dareen. Tadi aku kira rumah kalian disebelah ini. Terus tetangga kamu kasih tau rumah kalian di sini"

Sialan tuh tante Leila! Coba bikin mereka nyasar aja. Ngapain pakai bilang kami tinggal di sini!

"Mau apa ke sini?" tanya gue dengan sinis. Bukan ke Adre tetapi cewek psikopat di belakangnya.

"Aku pengen tau keadaan kamu" jawab Adre yang masih duduk di kursi roda. "Ini. Aku bawakan masakan kesukaan kamu dan ka Dareen"

Ia mengulurkan kotak makanan ke arah gue. Gue mengambilnya dengan wajah datar. Hari ini gue sudah masak. Kalau ada makanan dari Adre, pasti Dareen lebih milih punya Adre.

"Ka Dareen mana?" tanya Adre bikin gue cemberut. Gue curiga jangan-jangan niatnya ke sini cuma mau ketemu Dareen.

Kalau bilang lagi kerja, ga mungkin. Sekarang hari minggu. Em.. "Dareen lagi tidur. Lagi kecapean tadi malam habis.. Yah, kalian tau lah"

Gue melirik wajah Adre yang merona dan cewek psikopat yang kesal. Puas melihat reaksi mereka. Semoga aja Dareen ga keluar kamar.

"Cuma mau antarin ini aja kan?"

"Iya. Syukurlah kalau kalian sudah dekat. Ternyata kekhawatiran aku ga terbukti"

Sebenarnya sih ga dekat-dekat amat. Paling engga, gue gak ketakutan seperti dulu menghadapi Dareen marah. Entah karena gue sudah terbiasa menghadapinya atau Dareen yang melunak.

Suasananya jadi canggung. Lebih baik mencari bahan pembicaraan. "Kamu kenapa masih pakai kursi roda?" tanya gue ga langsung menanyakan kabarnya.

"Aku ga kuat berjalan lama dengan perut yang semakin membesar. Tetapi kandungan aku kuat kok. Aku ga apa-apa"

Love From A to DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang