BAB 2 - Miss DramatiS

143 6 0
                                    


Aku baru pulang dari rumah penjahit langgananku ketika hujan turun siang itu. Dalam hati aku bersyukur karena sudah sampai di rumah sebelum tetesan pertama hujan menyentuh bumi. Dengan bergegas aku masuk ke dalam rumahku yang sepi. Membuat secangkir kopi, lalu duduk di ruang tamu. Memandangi kertas-kertas desain di tanganku, dan menyamakannya dengan hasil jahitan Mbak Lanisa yang baru kuambil tadi. Selalu memuaskan!

Mengenal Mbak Lanisa adalah sebuah keberuntungan yang tiada tara bagiku. Dia laksana oase di tengah padang pasir, laksana hujan lebat di tengah kemarau menahun. Ia berumur 25 tahun, sudah menikah, memiliki satu orang batita bernama Ila, bersuamikan seorang sekuriti yang bertugas di gedung pemerintahan kota.

Mbak Lanisa seorang gadis kampung tulen, tidak mengerti gadget ini-itu. Ponselnya masih berbentuk Nokia jadul yang suka kusebut tahu ketika ia menyebut ponsel-ku mirip talenan. Yep, perpaduan yang menarik bukan?

Tapi kepiawaian jemarinya dalam menyatukan bahan-bahan menjadi sesuatu yang cantik itu tidak perlu diragukan lagi. Dia sangat teliti dan selalu tepat waktu. Dia selalu bisa mengerti apa yang aku dan Maia inginkan dengan melihat desain kami, dan sejak itu dia akhirnya menjadi penjahit pribadi yang bisa diandalkan!

Dengan senyuman mengembang aku langsung menghubungi nomor Maia, tidak sabar mengabarinya tentang hasil kerja Mbak Lanisa. Maia mengangkat teleponku di deringan kelima, terdengar santai-datar-selow seperti biasa.

"Hasilnya keceh!" teriakku sedikit berlebihan.

"Sip, kirim ke gue, biar gue langsung posting di blog dan instagram," katanya. Seulas senyuman terdengar jelas dari suaranya.

Aku mengangguk penuh semangat. "Siap bos!"

Sejak lulus kuliah lima bulan yang lalu aku memang tidak lagi tinggal di rumah kontrakanku di Serang, jadi mau tidak mau kini aku harus menjalani LDR dengan Maia untuk melanjutkan bisnis kami.

"Lo nggak kesini aja?" tanya Maia tiba-tiba. "Matengin konsep sama orang Alea Hijab," katanya lagi.

Aku mengerucutkan bibirku, menimbang. "Males ah," jawabku asal. "Males naek bisnya."

"Makanya cari pacar!" ejek Maia dengan nada menyebalkan yang siap dilempar sendal.

"Tahu deh yang lagi kasmaaaraaannn!!!!" teriakku kesal. Lalu ia tertawa keras. "Elo kan yang punya pacar, kenapa lo nggak ke sini aja!" gerutuku, sinis.

Maia masih tertawa lebar, lalu akhirnya mengiyakan perkataanku. "Iya, gue emang mau ke Tangerang kok. Cowok gue ada undangan nikahan." caranya mengucapkan kata 'cowok-gue' benar-benar membuatku ingin melemparnya dengan benda apa pun yang ada di hadapanku. Kesal. Dasar kampret!

"Iya deh tahu yang punya COWOK!!!!" teriakku frustasi.

Tawa renyahnya langsung kembali pecah. "Hahahaha pisss!! Udah ah, gue mau siap-siap dulu, ada janji jam empat sama pacar gue!"

"Moi kampret! Gue jepret juga nih lo!" teriakku kesal, sebelum mendengar tawanya dan suara klik yang memutuskan hubungan telepon kami.

Setelah tertawa-hambar dan mengumpat, aku merebahkan tubuhku di kursi panjang ruang tamu. Menatap langit-langit berwarna putih itu, merenung. Sebenarnya aku juga memiliki janji untuk pergi hari ini, jam enam sore tepatnya. Tapi aku masih tidak yakin apakah aku akan benar-benar pergi atau membatalkan di detik-detik terakhir sebelum jam eksekusi itu datang, dengan alasan sakit jerawat, atau sakit bisul, atau apa pun yang bisa kujadikan sebagai alasan.

Seperti biasa, aku tidak pernah bisa mengatakan "tidak" pada ajakan sosok itu, namun juga memiliki keengganan seratus persen untuk menerima ajakannya.

CICAKOPHOBIADove le storie prendono vita. Scoprilo ora