BAB 1 - KERAMAT

249 12 2
                                    


Musik upbeat mengalun keras dari speaker laptopku, menemaniku menatap gambar-gambar acak yang kutempelkan di setiap sudut dinding kamarku, tepatnya di depan meja kayu tempatku meletakkanTV layar datar dan laptopku. Aku menempelkannya secara asal, dengan sebuah gambar utama berupa foto close up wajah seorang gadis yang dikelilingi oleh kupu-kupu berwarna coklat muda. Salah satu mata gadis itu menatap tajam pada siapapun yang memandangnya, sejenak seperti tengah menatap foto hidup, keramat. Sebelah matanya lagi tertutup helaian rambut yang tergerai lembut. Bibirnya penuh, seksi. Pipi dan hidungnya memiliki bintik-bintik samar di balik warna pink merona blush on yang dikenakannya. Begitu natural dan tegas. Sosok yang selalu ingin kuhidupkan dari dalam jiwaku yang terdalam.

Di sekelilingnya terdapat foto-foto yang lebih kecil, kebanyakan gambar-gambar yang ku download dari mana pun, kata-kata penyemangat, dan sekedar gambar berwarna warni yang menurutku unik. Jauh di penghujung 'pameran' gambar itu, aku juga menempelkan foto riwayat hidupku bersama beberapa orang yang pernah menghiasi hari-hariku. Foto-foto komunitas sosial yang aku ikuti, dan beberapa foto kenangan KKN jaman kuliah.

Foto paling ujung yang terpajang di sana, paling besar, adalah fotoku dengan kelima sahabatku. Diambil pada masa-masa akhir kuliah, meski aku sendiri sudah lupa kapan tepatnya foto itu diambil. Mata kami terbuka, ceria, dan tanpa beban dengan senyuman mengembang lebar, seakan sama sekali tidak khawatir terhadap apapun.

Aku merindukan mereka, dan saat-saat itu.

Kedipan di layar ponsel pintarku mengaburkan seluruh lamunanku. Aku mengintipnya sekilas, tidak berniat buru-buru membukanya. Ketika mendengar suara ping! berkali-kali barulah aku mengambil ponselku. Siapapun dia, pasti ini cukup penting karena aku sudah berkali-kali mengatakan tidak menyukai nada ping! pada applikasi BBM, dan melarang siapapun untuk melakukan itu kepadaku, kecuali sangat—teramat—penting.

Pesan dari Maia, salah satu teman yang berpose bersamaku di foto terakhir yang tertempel di dinding itu. Kini ia menjadi rekan bisnis fashion online-ku, setelah kami berdua mulai putus asa mencari pekerjaan sejak kami menyandang gelar sarjana hingga hari ini. Sebenarnya kami menyebut ini sebagai bisnis selingan, sampai nanti menemukan pekerjaan yang pas untuk kami berdua. Kami sama-sama menyukai dunia fashion, meskipun aku tidak se-fashionable Maia, tapi aku menyukai dunia desain. Sedangkan dia, jangankan mendesain, menulis saja sudah selalu menuai ejekan. Meski cantik, tapi Maia memiliki tulisan tangan yang luar biasa berantakan. Aku suka mengejeknya tidak lulus SD, dan ia akan langsung mencibir kesal sambil mencubit lenganku.

Mungkin karena terlalu lama membalas pesannya, akhirnya Maia malah langsung meneleponku.

"Kikan!!! Molor yah lo?" tanyanya tanpa basa-basi.

Aku menguap, menatap cangkir kopiku dengan nanar. "Kaga," jawabku sekenanya. "Abis ngelamun aja," tambahku lebih asal lagi.

Dia mendengus, "Dasar!" katanya, tidak terdengar nada marah sama sekali. Santai dan seloww... moto hidup yang selalu kuacungi jempol pada gadis fotogenik ini. "Kemaren si Wawan nelpon, dia mau ngadain sesi pemotretan pre-wedding, minta kita yang pegang."

"Wih, tuh bocah mau merit?" tanyaku, tertarik pada gosip yang dibawanya.

"Kakaknya, Mbak Ayu," ujar Maia. Aku menyandarkan kembali punggungku pada sandaran kursiku, kehilangan antusiasme dalam seketika. "Gimana, mau nggak?" tanyanya lagi. Sebenarnya aku masih memiliki banyak desain yang harus kukerjakan. Tapi aku akan merasa sangat tidak enak jika menolak permintaan itu.

"Oke. Lo sesuain aja jadwalnya si Marwan sama kita. Kalau udah fix, kabarin gue," jawabku, seenaknya mengganti nama Wawan. Maia berdehem pelan, lalu menanyakan beberapa desain, nah lihat kan? Aku banyak pekerjaan!

CICAKOPHOBIAWhere stories live. Discover now