Feeling and Cooking

150K 6.3K 44
                                    


Sekar POV

Aku melipat mukena sholat bermotif bunga melati, udara dingin AC kamar menusuk tanpa permisi ke dalam pori-pori kulitku. Aku mengerut tubuhku di atas sajadah. Ingin sekali meraih Al quran yang duduk cantik di atas meja kamar. Tapi dingin ini membuatku malas gerak.

Ku lirik remot AC di atas tempat tidur. Sepertinya itu yang harus ku lakukan pertama kali, mematikan AC.

Sudah 2 bulan aku tinggal bersama lelaki itu yang dengan berat harus ku akui dia sebagai suami ku. Kaki ku melangkah berat turun keluar dari kamarku, daster batik berbentuk A line mengembang-ngembang di terpa tiupan angin subuh dari arah pintu rumah yang barusan aku ku buka. Dapur tinggal beberapa langkah lagi, tapi terlalu dingin, aku memutuskan duduk sebentar di kursi tamu, akh seharusnya pintu itu tidak buka.

Pukul 5:30 aku seharusnya menyiapkan sarapan pagi. Tapi sangat dingin, tulang ku sampai terasa nyilu.

sudah 2 bulan aku tinggal bersama denis. Hari-hari kami berjalan seperti yang tertera di dalam kontrak nikah, tak ada keributan apalagi konflik, yah bagaimana mau terjadi konflik jika interaksi intensif aku dan dia sangat jarang terjadi. Kegiatan rutin kami yang menyebabkan terjadinya interaksi adalah ketika sarapan pagi dan saat dia pulang kerja, ini terjadi akibat surat kontrak kami, surat yang sangat menguntungkan denis. Aku membacanya 1 hari setelah acara resepsi kami.  Surat kontrak dengan isi menjengkelkan itu membuatku harus menangis 2 jam, bagaiman tidak, aku tidak boleh kerja di kantor hanya boleh di rumah menjalankan tugas sebagai seorang istri, huh tugas seorang istri kepalamu denis. Apa hanya memasak menjadi tugas seorang istri? Kamu bercanda.
Dan yang paling menyakitkan dari isi surat itu adalah, karena aku tidak mungkin mengandung anaknya jadi pembagian harta saat kami bercerai akan di bagi seadil-adilnya.

Ya Tuhan untuk apa dia menikahi ku jika niat awalnya sudah ingin menceraikan ku.

Relungku tersayat merobek luka. Bukan karena harta gono-gini, keluargaku sudah cukup kaya untuk menghidupiku jika dia ingim mengambil semua kekayaan yang beratas nama ku. Tapi Hati ku terluka saat tertera dalam surat kontrak aku tidak mungkin mengadung keturunannya.
Aku tau perjanjian awal tidak ada sentuhan kulit adalah kemauan ku, tapi tidakah dia fahami jika yang kulakukan itu agar supaya dia mau menyetujui pernikahan kami.

Ya Allah entah kenapa hatiku sangat sakit saat membaca penggalan tulisan itu. Denis begitu jahat, berkali-kali dia membuat ku melayang dan berkali-kali pula dia hempasakan.

dasar bajingan!

brensek!

"Apa aku bisa kenyang dengan isi pikiran kotor mu itu?" aku terlonjak mendengar sosok manusia yang enatah dari kapan dia berdiri memandangi ku di ujung tangga itu.

"A,aku kedinganan jadi-"

"Oh. Jadi kamu pikir matahari bisa membuatmu terasa dingin?"
Jawaban gugub ku langsung di potong olehnya.

Aku refleks memalingkan wajah melihat ke arah pintu.

Astagfirullah. benar saja dia kalap, ini mungkin sudah jam 7, Sepertinya aku harus ke psikiater memeriksa kejiwaan, bagaimana mungkin aku bisa menghayal sampai memakan waktu berjam-jam.

Dengan merasa bersalah Aku berlari kecil ke dapur menyiapakan sarapan untuknya.

Aku tadi bilang apa? Tidak ada konfilk? Sepertinya harus di ralat bagian itu sebab konflik selalu saja terjadi di sela-sela sedikitnya interaksi kami.

"Papa pulang malam ini, aku ingin ada di sana, maukah kamu mengantarku?" kataku sedikit lirih. Sudah 2 pekan papa siuman dan sudah di perbolehkan pulang oleh dokter malam ini.
Dia hanya diam tidak menanggapi. Tapi aku tau dia mengiyakan. Hidup dua bulan dengannya membuat ku mengerti banyak hal, seperti bahasa diamnya atau sekedar bahasa isyarat.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang