Aku lebih memilih untuk menikmati pemandangan Manly Cove di malam hari. Lampu-lampu yang berasal dari pelabuhan membuatku sangat menyukai Sydney. Aku tidak keberatan untuk mengunjungi Sydney dua kali dalam seminggu.
"Dev, kenapa gak gabung sama yang lain?" Diasta meraih lenganku. Aku memandang ke arah jari-jarinya, bahkan sentuhannya pun sama. Seperti Aira.
Stop it, Deva.
"Males," aku kembali memandang Manly Cove di depanku dan tidak menghiraukan tangannya yang masih memegang lenganku, "kamu?"
Did I call her 'kamu'?
"Males juga. Gak begitu suka sama dinner ala barat gini. Gue lebih suka gado-gado Bon Bin." Candanya.
Kami berakhir dengan memandangi desiran air di depan kami. Berbeda dengan Diasta, Aira tidak suka tempat seperti ini—di mana dia hanya bisa menikmati pemandangan tanpa melakukan sesuatu—jika dia sekarang ada di sini, kami sudah melenggang berdua ke Daniel San dan menikmati masakan Jepang daripada harus menghabiskan waktu melihat lampu yang berkelap-kelip.
"Jadi lo gak makan?" tanya Diasta. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
Sudah dua tahun berlalu tetapi aku selalu mencari sosok Aira di setiap kali aku terbang. Membayangkan Aira hadir kembali dengan seragam merah yang membuat dirinya menjadi sosok sempurna di mataku. Aku menatap melipat tanganku di pagar pembatas, don't fall for her don't fall for her.
"You erased me from your memories because you thought you were holding me back from having a full and happy life. But you made a mistake. Being with you is the only way I could have a full and happy life. You're the girl of my dreams, and apparently, I'm the man of yours."-Henry, 50 First Dates
Di dalam taksi, aku masih meneliti satu persatu hal kecil tentang Diasta yang anehnya, hampir sama. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku berharap Tuhan mengembalikkan Aira kepadaku dengan sosok yang berbeda. Aku tidak yakin kalau perasaanku masih sama seperti yang dulu terhadap Aira, tetapi sangat sulit bagiku untuk menghapusnya begitu saja. Apalagi saat mengetahui kalau Aira sudah kembali ke Indonesia dan bekerja bersama dengan istri dari kru di penerbanganku.
"Diasta, biasa.. yuk?" Deny dan Okta menawari Diasta untuk pergi mengunjungi sebuah night club yang terkenal dengan 'kesenangan' yang ditawarkan kepada pengunjungnya di kota. Tetapi Diasta menolak karena dia tidak suka tempat-tempat seperti itu, just like Aira. Dia tidak akan mengiyakan ajakan untuk clubbing.
Jadilah aku dan Diasta kembali ke hotel tanpa kru yang lain. Setelah mengganti bajuku dengan kaos putih dan celana pendek, aku segera memeluk bantal lainnya yang seharusnya menjadi bagian rekanku. Who cares?
***
Baru satu jam setelah tengah malam, aku dibangunkan dengan suara gaduh yang berasal dari depan pintu.
Aku bangun dan membuka pintu tanpa mencuci muka terlebih dahulu, aku mengira itu hanya segerombolan kru yang mabuk setelah mengunjungi club, tetapi yang kulihat hanya pemandangan Diasta yang kesakitan sambil memegang perutnya.
"Dev.. sakit.."
Aku membantu Diasta untuk masuk ke dalam kamar dan menyuruhnya untuk duduk di kasur. "Kenapa?"
"Gue gak tau, sakit banget..." dia tetap memegangi perutnya dan mengerang kesakitan.
"...kapan kamu datang?" aku ingat ketika seorang temanku mengaku perutnya sangat sakit dan ternyata dia hanya sedang datang bulan.
"Masih dua minggu lagi.."
Aku memutar otak, "Tadi pas kita dinner, kamu makan?" Dia menggeleng. That's it.
"Bentar ya, gue coba cari obat. Mungkin cuma maag aja."
Setelah mencuci muka, aku keluar dari hotel dan bertanya kepada satpam di mana aku bisa membeli obat. Untungnya, tak jauh dari hotel ada sebuah minimarket yang masih buka. Aku segera masuk ke dalam dan membeli sebuah obat maag.
Saat membayar, aku melihat seorang pria mengambil sebuah bungkus yang biasanya disediakan di meja kasir. Aku hanya tertawa kecil melihat pria itu dengan terburu-buru membeli benda 'aneh' itu.
"Everybody buys it in midnight and it happens everyday..." umpat si penjaga kasir, seorang pria remaja berkulit putih pucat dengan jaket tebal.
"Hey, you're foreigner, aren't you?" pria ini berdecak sambil mengecek harga obat yang kubeli, "people buy cond*m and you buy medicine, is your girl sick? Poor you." Aku memberikan beberapa lembar dolar Australia kepadanya.
Aku tertawa sepuas-puasnya begitu keluar dari minimarket itu. "Right, people buys cond*m and I just bought a medicine."
Sambil menenteng obat maag, aku kembali ke kamarku dan menemukan Diasta terbaring lemah di atas kasur, di pelipisnya mengucur keringat dan masih menekan perutnya. Aku mengambil segelas air putih dan memberikan obat maag itu kepadanya.
"Gimana?"
Diasta menggelengkan kepalanya. Lama kelamaan, dia sudah bisa tenang dan tidak lagi meremas perutnya. Aku menyuruhnya untuk meminum banyak cairan dan memakan beberapa buah roti yang kubawa dari pesawat.
Pukul tiga pagi, aku masih berada di depan televisi, menikmati film-film yang ditayangkan HBO untuk mengusir sepi. Partnerku tak juga kembali dan aku menyuruh Diasta untuk tidur di kamarku, aku tidak mau mengambil resiko jika perutnya akan sakit kembali.
"Mbak?" Tak ada jawaban, aku masuk lebih dalam dan mendapati Aira sedang duduk di depan meja rias sambil mengeringkan rambutnya. Ia mengenakan bathrobe putih yang disediakan hotel untuk tamu. Jangan biarkan aku jelaskan bagaimana tubuh seorang wanita saat memakai pakaian itu.
"Eh? Nyari charger-nya Mbak Gea, ya?" Aira langsung mengambil sebuah charger di atas kasur dan menyodorkannya kepadaku. Aku menatapnya, maksudku, dahinya yang ditutup perban.
"Kamu gak apa-apa?"
"Eh?"
Aku menyentuh dahinya perlahan-lahan. Aira sempat meringis kesakitan saat jariku tak sengaja menyentuh lukanya. Apa separah itu?
"Cie!!" sorakan dari arah pintu membuatku sontak menjauhi Aira. Capt. Adi dan Mbak Gea sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah kamera DSLR yang Mbak Gea gunakan untuk memotret kami.
"Mbak!" Teriakku bersamaan dengan Aira.
"Cie! Samaan lagi!" teriak Mbak Gea dan Capt. Adi bersamaan.
Aku tiba-tiba tertawa mengingat kejadian itu. Dari dua puluh empat jam waktu yang kupunya, saat-saat sebelum matahari terbit adalah waktu yang paling kubenci. Udara dingin yang menusuk akan mengingatkanku dengan semua kenangan yang pernah kualami. Bahkan aku tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya saat melakukan penerbangan subuh.
"Deva.." aku merasakan tangan yang menggenggam pundakku malam sebelumnya kini melingkar di tubuhku. Diasta berbisik di telingaku dengan suara seduktif dan...
Diasta bergerak agresif dengan menghirup tengkuk sampai pundakku yang tak tertutupi apapun kecuali kaos putih tipis yang kugunakan untuk tidur.
Hal lain yang membuatku membenci waktu sebelum terbitnya matahari adalah, semua kesadaranku yang pergi bersama kenangan yang perlahan-lahan menghilang. Tentang Aira, tentang pendirianku sendiri.
Kengangan tentang Aira yang hilang menuntunku untuk menyentuh Diasta di luar batasku. Aku memiliki Diasta malam ini. Only her.
We're only getting older, baby
And I've been thinking about it lately
Does it ever drive you crazy
Just how fast the night changes?
Everything that you've ever dreamed of
Disappearing when you wake up
But there's nothing to be afraid of
Even when the night changes
It will never change me and you
-One Direction's Night Changes
ВЫ ЧИТАЕТЕ
Devair (Completed)
Любовные романы[BACKGROUND : A320 (local airlines), B777 (int. Airlines), A380 (int. Airlines)] "When everything seems to be going against you, remember that the airplane takes off against the wind, not with it." -Henry Ford Bagi beberapa orang, burung besi itu m...
Alexi Adeva : (Not) Return To Base
Начните с самого начала
