Aira Frenelia : Rutinitas

42.5K 1.6K 15
                                    


***

"Permisi, Mbak Aira, ya?" Perempuan itu masuk ke dalam ruangan briefing dan langsung duduk di hadapanku. Aku menunduk setelah melihat ID yang terkalung di lehernya. 2015, juniorku. Dia memandangku disertai senyuman ramahnya. "Nama saya Lora, Mbak." Ucapnya.

Aku mengangguk dan tersenyum tipis kepadanya. Mbak Gea dan Feron masuk ke dalam ruangan sedikit terburu-buru. Mereka sudah terlambat hampir sepuluh menit dan itu membuat kami harus mempercepat waktu briefing.

"Oke, semuanya perlihatkan passport kalian. Kita check apakah passport kalian masih valid atau tidak." Kami berempat menyodorkan passport kami dan Mbak Gea memeriksanya satu persatu. "Valid. Oh ya, setau saya pesawat yang akan kita bawa kali ini beberapa hari yang lalu sempat trouble, jadi kalau ada hal yang aneh langsung lapor kepada saya. Don't be panic." Mbak Gea berdiri dari kursinya, menyeret kopernya dan berjalan terlebih dahulu.

Aku berjalan di urutan paling belakang bersama dengan Feron. Di dalam mobil perusahaan sudah ada sepasang pilot yang menunggu kami. Capt. Adi dan seorang first officer yang katanya populer di kalangan senior.

"Hai, Feron" Capt. Adi mencolek Feron dan dibalas pukulan keras dari Feron.

"Saking hopeless-nya nyolekin pramugari sekarang pindah haluan, Capt?" canda Mbak Gea, seisi mobil tertawa termasuk supir yang baru masuk.

"Kamu tau aja deh Ge, tapi gak serius, kok! Masih demen cewek sih gue!"

"Cowok yang kayak cewek kali, Capt" first officer itu ikut bicara. Dia daritadi hanya memainkan ponsel di bangku depan.

Gayanya angkuh, penampilannya juga cukup nyentrik dengan Expedition hitam di tangan kanannya. Jangan lupa kacamata hitam yang ia pakai subuh-subuh begini.

Aku turun dari kabin setelah Feron dan Lora turun. Capt. Adi dan Mbak Gea sudah mendahului kami masuk ke pesawat. Aku sedikit kesulitan mengangkat koperku dari bagasi mobil.

"Sini kubantu." Kuperhatikan nametag di dada kanannya, Alexi Adeva. Namanya aja keren, orangnya lebih lagi! "Kamu bawa apa sih sampe berat begini?" Dia menarik nafas panjang setelah berhasil mengeluarkan koperku. Aku menunjukkan deretan gigiku kepadanya.

"Thanks, ya." Ucapku sambil cengengesan. Pak Supir menutup pintu bagasi dan meninggalkan kami.

Aku masuk paling terakhir, Mbak Gea dan Feron sedang mengecek safety equipment di galley depan dan Lora mengelap-ngelap galley belakang gak jelas. Aku segera menaruh koperku di head rack dan membantu Mbak Gea untuk mengecek kabin.

Beberapa kali terdengar suara aneh dari mesin saat pilot mulai mengoperasikan pesawat. Aku bergidik ngeri teringat dengan ucapan Mbak Gea saat briefing tadi. Aku memandang ke arah mesin, beberapa teknisi masih melakukan pekerjaan mereka di sekitar sana. Feron menepuk bahuku dan mengisyaratkan untuk segera bersiap-siap menyambut penumpang di galley depan.

Proses boarding berlangsung sedikit tersendat karena semua seat terisi penuh. Beberapa dari penumpang sempat meminta pindah ke kursi lain karena tidak mau duduk di belakang dan aku lebih bersyukur ada bapak-bapak yang meminta pindah duduk di dekat emergency exit untuk menggantikan seorang ibu hamil yang seharusnya memang tidak diberikan tempat duduk di samping emergency exit.

Setelah Mbak Gea memeriksa kabin dan headrack, aku berdiri di tengah-tengah kabin memperagakan safety demo. Beberapa kali aku harus bertahan agar tidak jatuh karena pesawat berjalan sedikit kasar. Bunyi aneh tadipun terdengar lagi. Pramugari pantang panik. Aku tetap tersenyum dan memperagakan cara memasang masker oksigen.

"Flight attendant, take off position. "

Aku mengenakan sabuk pengaman yang ada di jumpseat saat Mbak Gea sudah memberi instruksi. Tak berapa lama kemudian pesawat lepas landas dengan mulus menembus langit berhias sunrise yang menawan.

"Bagiin immigration form ya." Mbak Gea berdiri dari jump seat-nya dan membuat rusuh galley depan dengan kecekatannya untuk mempersiapkan meal service. Mbak Gea adalah salah satu senior flight attendant yang cukup tegas dan tidak mau bertele-tele selama bertugas.

Aku membagikan immigration form bersama dengan Lora. Tak henti-hentinya ada penumpang yang bertanya ini itu, ada yang mengaku baru pertama kali terbang ke luar negeri, ada juga yang sok bisa dan menyobongkan diri. Macam-macam penumpang kuhadapi hari ini.

"Semuanya enam puluh ribu. Makasih, Pak." Aku melakukan meal service bersama Feron. Satu persatu penumpang mendapat pre-ordered meal mereka masing-masing. Aku dan Feron kembali ke galley belakang.

Tiba-tiba Mbak Gea melambaikan tangannya dari kabin bagian depan, aku segera berjalan melalui kabin dan mendengarkan keluhannya. "Duh, capek banget nih, Ra. Bisa tolongin Mbak gak buat ngasih meal crew ke depan?" Depan yang Mbak Gea maksud adalah cockpit. Aku mengangguk dan mengambil sebuah nampan berisi makanan untuk diberikan kepada kru cockpit. Kata Mbak Gea, Capt. Adi tidak biasa sarapan, dia hanya akan meminta segelas kopi panas dan terkadang sepotong roti tanpa isi.

"Permisi, Capt." Aku membuka pintu cockpit dan mendapati pria itu sedang memandang keluar dan sesekali memeriksa instrumen di depannya sedangkan Capt. Adi tertidur pulas. "Ini sarapannya, Al-"

"Deva aja." Pria itu nampak kaget dengan kedatanganku ke dalam cockpit. "Loh, Mbak Gea mana?"

"Oh, Mbak Gea katanya capek, makanya aku yang ngantar." Deva membantuku menaruh meal crew ke atas meja kecil di depannya. "Ada yang lain? Minumannya cukup?"

"Cukup kok, makasih banyak ya." Pantas saja Deva menjadi first officer yang diidam-idamkan senior, walaupun gayanya sedikit angkuh namun ternyata Deva sangat ramah dengan crew yang baru ia temui. "Oh iya, udah berapa lama di sini?"

"Sekitar tiga tahun, kamu sendiri?" tanyaku, mencoba mengakrabkan diri dengan Deva. Kulihat Capt. Adi menggeliat di kursinya, sepertinya obrolan kami mengganggu tidur paginya.

"Dua tahunan lah, dulu sempet di maskapai lain sebentar." Aku mengangguk. Tak mau mengganggu pekerjaannya, aku segera pamit keluar dari cockpit dan melanjutkan acara bersih-bersih kabin.

~~~



Devair (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang