Bab Dua

3.2K 73 2
                                    

Kematian profesor Jeremia atau sering disapa para mahasiswa pak Jay, membawa luka yang dalam bagi yang mengenalnya. Beliau dikenal sangat ramah dan murah senyum. Mudah bergaul tapi juga serius dalam mengajar. Namun hanya satu hal yang paling disayangkan adalah pak Jay belum menikah. Dan karena alasan itulah yang membuat ruangan yang bisa dikatakan kecil ini hanya dipenuhi oleh mahasiswa atau rekan dosen beliau.

Ruangan itu tertata rapi dengan beberapa meja dan kursi-kursi besi yang mengitarinya. Di tiap meja terdapat sepiring kacang tanah dan air mineral dalam gelas yang dapat dinikmati bagi para pelayat. Tapi yang paling unik ada di depan ruangan itu, di mana ada puluhan karangan bunga yang di alamatkan kepada keluarga pak Jay yang isinya menyatakan rasa bela sungkawa mereka.

Karangan bunga yang berbagai macam itu, diberikan oleh berbagai orang. Ada dari perusahaan-perusahaan, universitas ataupun nama pribadi saja. Tapi yang menarik adalah perusahaan, universitas dan nama pribadinya pun bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Ini bukti kuat bahwa pak Jay juga sangat terkenal di dunia.   

Baju hitam terlihat sekali mendominasi ruangan itu. Meja-meja kecil panjang sudah terisi oleh beberapa orang yang hadir. Keluarga pak Jay berdiri di dekat peti mati yang sedikit terbuka sambil menyalami tamu-tamu yang hadir saat itu. Mereka menyambut tiap orang dengan isak tangis yang mendalam dan membuat siapa pun yang melihatnya akan menjadi iba.

Mikha mengenakan kemeja kasual berwarna hitam. Seperti biasa, outfit kemeja dan kaos berkerah itu adalah pakaian yang selalu terlihat padanya. Di mana pun, kapan pun dan dalam kondisi apa pun, sebisa mungkin Mikha akan memakai pakaian seperti itu.

Penampilan Mikha memang selalu terlihat rapi, wajah melankolis dengan rambut terbelah samping sempurna itulah yang hampir membuat ia mendapat julukan si genius di kampusnya. Mata Mikha sebenarnya minus dua setengah pada mata kanan dan kiri, namun Mikha enggan untuk mengenakan kacamatanya itu.

Pemuda di hadapan Mikha saat ini adalah Toni. Teman satu kampus, hanya mereka berbeda angkatan saja. Mikha mengenal Toni baru saja, sekitar dua semester terakhir. Toni menjadi sering mengajaknya pergi, semenjak Mikha membantu Toni dalam mengerjakan tugas-tugasnya.

Toni sendiri adalah laki-laki yang terlihat selalu bersemangat. Raut wajahnya kaku namun tidak membosankan, bahkan sedikit terlihat lucu dengan alis tebal seperti pasukan semut berbaris.

“Tidak ada yang aku kenal di ruangan ini?” ujar Mikha sambil melihat satu persatu orang yang ada di ruangan tersebut, “tidak ada satu pun.”

“Ya. Aku juga.”

Toni ikut mengelilingi ruangan itu dengan pandangan tajamnya. Satu persatu wajah dilihatnya dengan perlahan, tapi sejenak saja pandangannya berhenti pada wajah gadis manis yang ada pojok ruangan itu.

“Mikha...”

“Kenapa?”

“Coba kamu lihat gadis manis di belakangmu!”

“Untuk apa?”

“Lihat dulu!”

Mikha walau sedikit enggan berusaha untuk menengok ke belakang dengan perlahan-lahan. Ia memutar badannya sambil berpura-pura mengayunkan pinggangnya karena pegal, lalu melihat gadis yang dimaksud Toni.

“Manis ya?”

Mikha kembali ke posisi semula sambil mengangguk setuju.

“Siapa ya dia?”

“Tanyakan saja sendiri!”

“Ah...Tidak.”

“Payah...!!!”

untitled...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang