Part 6 - Batu Permata

159 12 0
                                    

Perjalanan pulang hari itu cukup menyenangkan. Untunglah kami mengingat - ingat jalannya sehingga bisa dengan mudah menemukan jalan pulang. Kami sampai sekitar pukul setengah dua belas siang, dan Sarah langsung beranjak untuk menyiapkan makan siang kami.
Setengah jam kemudian, makan siang sudah siap dan kami berkumpul untuk makan siang. Sardencis dan roti terasa enak sekali disantap di alam. Ditambah lagi limun jahe yang segar ditengah cuaca yang sedang panas - panasnya di bukit.
Seusai makan, kami masih berkumpul. Kubuka hadiah dari tetua tersebut di hadapan kami semua.
Kantong kulitnya terlihat sudah agak kusam, namun isinya agak berat.
Kukeluarkan pelan - pelan barang itu dari dalam kantongnya.
"Sebuah batu permata!" Seruku. Sebongkah permata itu bersinar - sinar diterangi sinar matahari. Warnanya merah. Kantongnya sudah terlihat kusam, namun batu itu masih sangat jernih. Sangat terawat. Terlihat seperti mainan, namun batu itu asli. Serena terkagum - kagum melihatnya.
Kuambil sehelai saputangan di sakuku, lalu nengelapnya supaya jadi lebih mengkilap. Sesudah itu, kusimpan kembali di kantongnya.
"Simpanlah baik - baik, James. Tetua bilang barang itu pembawa keberuntungan, kan." Ayahku berbicara.
Aku menaruhnya di dalam sebuah kotak, dan kotaknya kutaruh di tempat yang aman di karavan.
Aku yakin permatanya tak akan hilang, karena hanya kami saja yang keluar masuk karavan, dan karavan itu selalu terawasi. Keluarga kami berkumpul di dekatnya, sehingga takkan mungkin ada orang yang dapat menyelinap masuk ke dalam tanpa sepengetahuan kami. Kami selalu menguncinya jika akan pergi, jadi takkan mungkin ada orang yang masuk ke dalam.
Besok, aku berencana untuk pergi ke pertanian pak Alfred untuk membeli beberapa bahan makanan, karena sudah mulai habis. Persediaan susu tinggal sedikit dan keju kami sudah habis.
Matahari sudah hampir terbenam. Kuambil buku catatanku lalu duduk di atas sebuah batu. Aku menuliskan ide - ide baruku di dalamnya, lalu menyimpannya kembali. Bill masih sibuk menyalakan kembali api unggunnya, karena hari sudah mulai malam dan dingin.
Sekitar pukul enam sore, api sudah berkobar - kobar di tengah bukit. Langit sangat cerah, dan matahari belum juga turun.
"Aku seperti merasakan musim panas lagi, James." Ujarnya.
"Padahal ini baru pertengahan musim semi. Belum seharusnya matahari diam terlalu lama seperti ini." Aku tertawa, dan membenarkan. Memang aneh, namun cuaca memang sudah tidak stabil di tahun - tahun ini.
Sekuntum bunga dandelion menebarkan benih - benih barunya sore itu. Sebagian jatuh di dekatnya, dan sebagian lagi terjatuh diatas batu. Ada juga yang diterbangkan angin, entah ke mana perginya.
Sekitar pukul tujuh, langit sudah gelap, dan kami semua sudah sangat lapar.
"Kita melewatkan minum teh hari ini." Keluh ayahku. "Iya." Jawabku.
Tak ada piring yang bersisa malam itu. Kami semua makan dengan sangat lahap. Daging yang digoreng sampai habis tak bersisa dan beberapa potong roti habis tak bersisa.
"Ah, kenyangnya. Memang enak ya, makan di alam." Kata ibuku.
Semua mengiyakan. Makan malam hari itu memang sangat lezat.
Serena juga makan dengan lahap. Dan karenanya, ia mengantuk dan tidur lebih cepat malam itu. Kami semua juga merasa mengantuk dan tidur jauh lebih cepat dari biasanya.

Keesokan paginya, kami terbangun sekitar jam sembilan pagi, dan segera sarapan. Kekenyangan tadi malam sudah hilang rasanya dan kami sudah lapar kembali.
"James! Kita tak punya makanan!" Seru istriku dari dalam karavan.
"Ya, ya, sayang, aku akan segera pergi ke pertanian pak Alfred!" Seruku.
Aku segera turun dari bukit ke dekat danau dan meraih salah satu sepeda umum yang disediakan di tempat itu. Kuabaikan dulu mandi dan perut laparku. Kukayuh sepeda secepat - cepatnya. Sekitar tiga menit kemudian, aku sudah sampai di halaman pertanian pak Alfred.
Kukayuh sepedaku perlahan dan memarkirkannya di depan rumah pertanian, lalu masuk.
Seorang ibu yang sudah cukup tua sedang mengeluarkan roti dari dalam panggangan. "Selamat pagi!" Sapaku.
Ibu itu menoleh, lalu tersenyum. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, bu. Saya mau membeli keju, susu, telur dan daging." Jawabku.
Ibu itu segera menyiapkan makanan yang kuminta, lalu menambahkan sepotong roti yang baru saja matang.
"Ini bonus." Ujarnya sambil tersenyum.
"Ah, terima kasih bu. Ibu baik sekali." Jawabku. "Beberapa hari lalu saya ke sini untuk membeli bahan makanan kepada pak Alfred." Ujarku lagi.
"Alfred itu suamiku. Aku istrinya. Namaku Jenny." Ujarnya.
"James, bu." Kami bersalaman.
"Aku sedang melancong di dekat danau bersama keluargaku." Ujarku.
"Oh, di dekat danau itu memang sering ada pelancong." Jawabnya.
"Ya, suami anda sudah menjelaskannya pada kami." Jawabku. Setelah itu aku membayar makanannya, berpamitan lalu pulang.
Kukayuh sepeda dengan cepat dan sampai kembali ke sana dalam tiga menit. Istriku sudah menunggu. Kuberikan bungkusan padanya. "Bu Jenny, istri pak Alfred memberi kita bonus roti." Ujarku.
Pagi itu kami makan roti tawar berisi daging goreng dan keju. Itu sarapan yang sungguh nikmat. Mudah dan nikmat. Susu yang kubawa juga masih segar. Rasanya sangat enak.
Setelah sarapan, kami mandi. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, sehingga matahari sudah bersinar cukup terik. Kami memutuskan untuk mandi - mandi di sungai. Airnya sangat jernih, sehingga aman untuk dipakai. Di sekitar sungai biasanya sangat sepi, dan hanya ada kami di sana.
Sungai itu ada di tengah hutan, sehingga sering sekali kami menjumpai beberapa ekor tupai, atau rusa yang sedang minum. Pohon - pohon yang ada di sekitar sungai itu tidak terlalu tinggi, tapi akan semakin tinggi bila kami menjelajah ke dalam hutan. Hutannya masih liar, dan populasinya masih alami. Biasanya hanya para pengembara atau orang - orang gipsi yang berkemah di dalam hutan. Atau mungkin juga penjelajah atau peneliti seperti John.
Kami keasyikan mandi - mandi di sungai itu hingga lupa waktu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas waktu kami kembali.
Belum ada yang mau makan siang, karena kami terlambat sarapan tadi pagi.
Karenanya, kami memutuskan untuk berjalan - jalan dulu di dekat danau.
"Hai! Kenalkan, ini Roover, dan Gehrar." John menyapaku saat kami tiba di pinggir danau. Orang - orang yang dimaksudnya tersenyum, lalu menyalamiku. Yang seorang lebih tinggi dari John, dan rambutnya coklat keemasan. Umurnya sepertinya lebih muda dariku, dan ia mengenakan sebuah tas kecil di pinggangnya. Sedangkan seorang, yang dinamakan Gehrar, tubuhnya pendek, tetapi berotot.  "Roover ini seorang ahli geologi, peneliti bebatuan. Sedangkan Gehrar itu pembantu kami selama perjalanan ini." Ujarnya lagi.
Selanjutnya kami bertiga duduk - duduk di tepi danau dan mengamatinya lagi. Kali ini, Roover juga ikut menjelaskan soal bebatuan yang ditemukannya padaku. Aku rasanya ikut menjadi ahli bila aku sedang bersama mereka.
Mereka membahas beberapa hal ilmiah yang terdengar asing bagiku, dan kadang, aku juga diikutsertakan dalam pembicaraan mereka. Banyak yang bisa kudapat dari pembicaraan mereka. Khususnya, soal danau ini yang memiliki banyak sekali kekayaan hayati di dalamnya.

The Red RubyWhere stories live. Discover now