Menata Hati (d)

2.5K 161 5
                                    

Dan di sinilah kami. Berada di lorong rumah sakit, menunggu hasil Lab.

Nadine masih berbaring lemah di dalam kamar inapnya. Aku menatapnya takjub saat akhirnya kami bertemu pertama kali pagi tadi. Wajahnya pucat dan tampak kelelahan, ia menatapku sembari tersenyum tipis. Aku sempat menggenggam tangannya, membalas senyumnya dan mengatakan bahwa aku begitu kagum kepadanya karena kini ia telah menjadi seorang Ibu.

"Angelina, aku iri kepadamu." Ia mengatakannya sembari tersenyum miris.

"Nggak ada kelebihan dariku yang pantas untuk membuatmu iri." Balasku sembari mengusap tangannya. Ia menatapku sendu, tapi aku memberikannya senyuman tulusku, "Aku yang seharusnya merasa iri. Usia kita nggak jauh beda, dan kamu sekarang sudah menjadi seorang Ibu."

Kami ngobrol sekitar sepuluh menit sebelum kemudian Daniel mengetuk pintu dan mengatakan bahwa hasil Lab-nya akan segera keluar, dan aku akan menemaninya untuk melihat hasil Lab itu.

"Aku harus pergi." Kataku lagi, "Senang akhirnya bisa jumpa sama kamu."

Ia tersenyum tipis, "Angelina,,"

"Ya ? "

"Bayi itu anak kandung Daniel."

Menghela nafasku dengan tak kentara, aku menyahut, "Aku akan lihat hasil Lab-nya dulu."

Ia mengangguk dengan senyum yang lebih terlihat nyata dari sebelumnya. Lalu ia mengangguk dan mengijinkanku pergi.

Tak menunggu lama, hasil Lab itu keluar, Daniel sempat menemui dokter untuk mendengarkan penjelasan tentang hasil Lab itu. Tapi Daniel bahkan tak ingin mendengarkan, ia memilih keluar ruangan dokter dengan secarik kertas di tangan.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut, "Aku mau kamu yang jadi orang pertama buka surat ini."

"Kenapa nggak dokter saja. Kita bisa mendengarkan hasilnya dan,"

"Tolonglah, " Katanya memotong kalimatku.

Mengangkat bahuku, "Baiklah." Kataku lalu membuka secarik kertas itu dan membaca hasilnya.

Aku tak tahu harus mengatakan apa saat yang kubaca akhirnya adalah sebuah kata 'Positif'. Aku menatap Daniel sejenak, lalu beralih pada hasil Lab-nya.

"Apa hasilnya?" Tanya Daniel dengan senyum lebar.

"Daniel," Rasanya seperti tenggorokkanku tersumbat permen karet yang menempel dan tak bisa tertelan juga tak bisa dikeluarkan. Aku kesakitan. Tapi aku sendiri tak tahu sakit akan apa? "Kamu ayahnya. Selamat." Kalimat itu akhirnya mampu kukatakan, meskipun aku harus menundukkan wajahku.

Aku sama sekali tak mengerti saat dadaku rasanya seperti sesak. Seperti tak rela. Tapi inilah kenyataannya. Dan aku bisa apa?

"Alhamdulillah," Aku mendongak saat Daniel akhirnya kembali bersuara. Ia tersenyum lebar, lalu tertawa pelan, "Aku jadi seorang Ayah, Na. Alhamdulillah, Alhamdulillah.. Aku akan segera nikahin Nadine."

Aku iri. Aku yang seharusnya iri pada Nadine. Daniel bahkan sudah tak menginginkan aku lagi. Aku merasa menjadi sesuatu yang teronggok tak berguna di sini.

Mencoba tersenyum, namun sepertinya yang kuhasilkan hanyalah sebuah ringisan.

"Aku belajar menerima kenyataan, Na. Aku menemui seorang kawan lama yang kebetulan seorang ustadz." Ia kembali tertawa, dan tawanya begitu ceria. Tak ada lagi nada sinis dan dingin. Wajahnya tampak jauh berbeda dengan Daniel yang enam bulan lalu kukenal, "Aku nggak percaya apa yang udah aku lakuin. Tapi aku sama sekali nggak menyesal saat aku memilih jalan ini."

"Aku meninggalkan Nadine selama ini untuk belajar di pondok pesantren. Hanya menjenguknya sesekali. Dan Nadine sudah banyak berubah di masa-masa kehamilannya. Nadine jadi jauh lebih dewasa."

"Kamu mencintai Nadine?" Tiba-tiba saja pertanyaan yang sudah mengusikku sejak tadi terlontar. "Maaf, aku nggak bermaksud.."

"Nggak apa." Katanya sembari menoleh dan tersenyum kepadaku.

Kami kini sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit menuju ke luar. Aku ingin pulang.

"Aku sendiri belum tahu, Na. Tapi dengan adanya bayi itu, aku rasa kami bisa saling melengkapi."

"Aku turut berbahagia untuk kalian." Kataku akhirnya saat aku sudah berdiri di halte. Menunggu taksi atau apapun yang dapat membawaku pergi dari dekat Daniel. Dari kebahagian Daniel dan Nadine. Aku - iri .

"Na, "

Aku bergumam menyahutinya. Sejenak hening, dan aku tak berminat untuk memulai pembicaraan diantara kami lagi.

"Perasaan aku ke kamu masih belum berubah, Na." Katanya akhirnya.

Aku tersenyum kecil, "Itu lebih pantas untuk Nadine, Dan.."

"Aku tahu." Ia tersenyum memandangku, "Tapi aku ingin kamu tahu sedikit tentang apa yang aku rasain ke kamu." Ia beralih menatap pada keramaian Ibu Kota, "Kamu gadis terbaik yang pernah aku temui. Dan kamu pantas dapatin yang terbaik daripada aku."

Kami sama-sama terdiam, sampai sebuah taksi berhenti di depanku. Aku meninggalkannya di sana. Tanpa sepatah katapun, tanpa perlu menatapnya lagi. Yang ada hanya sesak di dadaku.

Kubanting tubuhku pada kursi penumpang, dan detik itu juga air mataku tak lagi sanggup kutahan. Kupalingkan wajahku agar ia yang masih berdiri di sana tak dapat melihat tangisku.

Aku tak tahu kenapa rasanya bisa sesakit ini ... ?

==>>

Tentang DiaWhere stories live. Discover now