Leaf VII

412 49 9
                                    

Aku mendengar suara kicauan burung yang masuk melalui pintu kamarku yang terbuka. Angin semilir pagi yang sedikit menusuk tubuhku dari balik selimut tebal yang aku pakai. Aku tidak sadar sudah berapa lama aku tertidur kembali setelah semalam aku terbangun.

"Eh?"

Aku menyadari bahwa tanganku sudah berada di dalam lapisan selimut. Sebelumnya tangan kananku berada di dalam genggaman tangan Hijikata-sama. Tapi tangan itu kini hilang entah kemana. Posisi futon yang aku pakai tidak lagi berada di dekat sekat pintu. Kini sudah berada di tengah-tengah kamarku.

"Kau sudah bangun?"

Suara Hijikata-sama terdengar dari balik pintu. Dibukanya sekat yang semalam renggang tersebut. Menghampiriku dengan membawa nampan dan juga baskom kecil. Aku yang masih dalam posisi berbaring tidak bisa melakukan apapun yang dapat membuat tubuhku yang terluka kemarin ini kembali sakit. Berjalan ke arah futonku lalu menyilangkan kaki di sampingnya.

"Hijikata-...sama?" Tolehku lemah kepadanya.

Dia mencelupkan handuk kecil ke baskom yang berisi air hangat. Memerasnya sebentar sehingga agak kering. Lalu mengusap wajahku dengan lembutnya.

"Hijikata-sama..."

Aku ingin menangis. Aku tidak tahan. Aku tidak tahan jika seorang Hijikata-sama harus memperlakukan aku sama seperti Mitsuba-sama. Benar aku merindukan Mitsuba-sama, tapi tidak begini caranya.

Dia tetap melanjutkan pekerjaanya. "Jangan berkata apa-apa."

"Maaf... Maaf..." Kelopak mataku sudah bertumpuk air mata yang yang berusaha kubendung.

Dia diam. Tatapan mata itu tidak pernah berubah saat aku pertama kali bertemu denganya dahulu. Dingin, tajam, dan menusuk. Tapi dibalik semua itu dia menyembunyikanya. Rasa kesepian, rindu, kasih sayang, pada Mitsuba-sama. Lelaki itu menaruh handuk seka yang dia gunakan tadi di nampan yang dia bawa. Setelah itu ibu jari tanganya menyentuh pelipisku yang tadi terlewati oleh air hangat yang berasal dari ekor mataku.

"Kau pasti membenciku ya...? Setiap saat kau bertemu denganku kau pasti menangis..."

Aku ingin menjawabnya, namun aku tidak berdaya mengalahkan isakan tangisku. Tanganya yang hangat melembut begitu menyeka air mataku.

Suaranya merendah. "Maafkan aku. "

"Hiji...-kata... –sama..."

Kepalanya sedikit merunduk menuju ke arahku. Wajahnya mendekat kepadaku. Mataku sedikit terbelalak saat kupikir dia kembali untuk mencium bibirku seperti malam itu. Tapi ternyata dia mengecup keningku. Mengusap pucuk kepalaku dengan pelan. Kenapa kelembutan Hijikata-sama mengingatkanku pada...

"Oy, (Y/N)-chan apa kau sudah..."

Suara itu...

Gintoki-sama! Dia berdiri di depan kamar sambil membawa beberapa kotak makanan. Dia tertegun saat melihat Hijikata-sama tadi mengecup keningku. Hijikata-sama kembali memposisikan tubuhnya dengan benar setelah sepupunya itu datang untuk menjengukku. Tapi pria ini sepertinya tidak terkejut atau terlihat buru-buru setelah apa yang dia lakukan padaku saat sepupunya melihat kejadian barusan. Wajah lelaki dengan surai perak itu kembali normal setelah Hijikata-sama menyelesaikan kecupanya di keningku. Namun aku merasakan sesuatu yang hilang di sana.

Gintoki-sama tanpa ragu masuk ke kamarku. "Yo, pagi, Toshi, (Y/N)-chan!"

"Gintoki-sama..." Kataku padanya sambil membaca raut wajahnya.

Dia duduk di samping Hijikata-sama. "Bagaimana? Sudah sehat?"

"Eh... ya..." Aku tidak tahu apa yang harus kujawab padanya setelah dia melihatku dan Hijikata-sama sedekat tadi.

The Story of AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang