Silvia : It's Gonna Go Down In Flame

41K 4.4K 261
                                    

Author's Note :D

Harusnya koreksiiiii... Saking bosennya malah ngerjain ginian. Hhhh... Semoga kalian semua masih ingat ceritanya. Tenang, walaupun luammmmaaaa, saya pasti update kok, nggak bakal dicut di tengah jalan. Kecuali Yang Maha Kuasa tidak mengijinkan, tentu saja.

Selama masih diijinkan sih, nikmatin aja.

Enjoy! :)

__________________________________

Aku menata bento di kotak sambil sesekali melirik tutorial di Youtube. Menggigit bibir sambil mengamati hasil kerjaku. Yah, not bad. Menurutku. Walaupun sosis yang aku buat, bentuknya lebih mirip godzilla daripada gurita. Sutralah. Yang penting kan niatnya. Aku menutup kotak bento, memasukkannya ke kantong kain lucu bermotif gajah pink yang aku pesan di olshop Himawari, dan bersiap untuk pergi. Mengantar bento ini ke kantor Saka.

Saka. Akhir-akhir ini sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. Dia selalu tampak merenung, bengong nggak jelas. Aku pernah mendapati dia terdiam lama tanpa berkedip di depan MacBook-nya, dengan gambar yang masih belum tersentuh di layar. Waktu aku tanya, dia bilang dengan gugup kalau lagi cari inspirasi. Inspirasi apanya. Wangsit lebih tepat kaya'nya, menilik tatapan kosongnya. Setelah aku ingat-ingat, dia sudah seperti itu sejak pulang dari dokter. Atau keesokan harinya ya? Entahlah. Pokoknya di sekitar saat-saat itu. Daan, aku lupa apa saja yang terjadi! Ck, hamil ini bikin aku jadi pikun. Apakah karena apa yang dikatakan Mbak Padmi? Tapi apa? Mungkin aku harus mengadakan pertemuan dengan Mbak Padmi untuk menanyakan masalah ini. Karena ini nggak Saka banget. Memang, dia tetap memasakkan aku makanan sebelum dia berangkat ke kantor. Tetap rajin mengingatkan aku untuk minum obat dan vitamin. Tapi... Nah, ini. Saka tidak pernah lagi menciumku sejak itu. Di pipi pun tidak. Yaaa, bukannya aku ngarep dicium juga sih. Cuman kan...

"Non, sudah sampai," suara Pak Imran membuyarkan lamunanku. Aku menatap ke luar, ke bangunan kantor Saka yang didominasi kayu dan bata merah. Klasik. Ada pohon anggur merambat di kanopi di depan pintu utama, dengan anggur hijau bergelantungan yang membuatku menelan ludah. Waw. Aku belum pernah ke kantor Saka sebelumnya.

"Pak Imran tunggu saya, ya. Kalau mau ngopi-ngopi dulu juga nggak apa-apa, nanti saya telepon kalau sudah selesai," aku memberikan selembar 100 ribuan kepada Pak Imran. Pak Imran ini sebenarnya sopirnya Opa Benny, hanya saja aku suka minta tolong untuk mengantar aku kemana-mana, dan Opa Benny pun meminjamkan sopirnya dengan suka rela. Beliau tidak suka kalau aku menyetir dengan kondisi hamil seperti ini.

"Baik, Non. Terima kasih," ujar Pak Imran. Aku membuka pintu mobil, mengecek penampilanku sekilas di kaca, lalu beranjak ke pintu depan kantor Saka.

"Selamat pagi, saya Tania. Ada yang bisa saya bantu?" seorang gadis manis yang tampaknya resepsionis atau mungkin sekretaris menyambutku.

"Mmm, Pak Sakanya ada? Saya Silvia, istrinya," ujarku sambil tersenyum. Paras gadis itu sedikit berubah, tapi ia langsung tersenyum lagi.

"Oh, saya baru kali ini ketemu istrinya Pak Saka. Saya sekretarisnya. Pak Saka ada di ruangannya. Dari sini lurus, belok kanan, di pintunya ada ukiran aksara Jawa. Katanya sih bacanya Ajisaka, tapi saya nggak bisa baca aksara Jawa," gadis itu, Tania, tertawa renyah.

"Tapi Pak Saka sedang ada tamu, Bu. Mungkin agak lama. Silakan duduk dulu," Tania menunjuk sofa coklat tua yang tampak nyaman di sudut ruangan.

"Oh, oke. Biar saya tunggu," ujarku.

"Ibu mau minum apa?" tanya Tania lagi sambil mengikutiku ke sofa.

"Mmm, teh hangat saja, terima kasih," ujarku, dan Tania undur diri. Aku meletakkan kantong bentoku di meja, lalu duduk di sofa. Yup, sofanya nyaman. Aku menatap sekeliling ruangan yang didominasi perabotan dari kayu. Minimalis, tapi tetap terasa hangat.

SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUWhere stories live. Discover now