Leaf I

1.2K 74 4
                                    

Musim gugur...

Saat ini aku seorang diri. Seorang diri tanpa ada satupun orang yang memperdulikanku. Ya. Aku sudah terbiasa seperti ini. Duduk di bawah pohon maple beralaskan tanah dan juga rumput-rumput kecil yang memagari pohon ini. Menekuk lutut berkunci lenganku sambil termenung.

Memandang desa dari atas bukit dengan mataku yang sayu. Melihat anak-anak seusiaku bermain dengan riang gembira di bawah sana. Betapa beruntungnya mereka.Bisa bermain dengan bebas, bisa tertawa dengan lepas, bisa bersenda gurau dengan lainya.

"Kami-sama... hari ini aku sendiri lagi... si rambut merah (Y/N) hari ini sendiri lagi..."

Aku mengigit pelan bibir bawahku sambil berusaha untuk menahan rasa sedih yang kembali menghantuiku setiap harinya. Padahal aku sudah terbiasa dengan keadaanku seperti ini. Sendirian, dikucilkan oleh penduduk desa, dan menangis. Tapi kenapa saat batin ini tidak mampu lagi untuk menahan beban itu?

Rambutku berwarna merah seperti daun pohon maple di musim gugur. Tentu orang-orang di desaku mengira aku adalah anak iblis, monster, atau sejenisnya. Mereka umumnya memiliki rambut warna coklat maupun hitam. Ya, benar. Warna merah jingga pada rambutku ini sama sekali tidak wajar. Pantas mereka berpikir seperti itu.

Jika benar... jika benar aku adalah anak iblis, ataupun monster, seharusnya aku kuat untuk bisa mempertahankan diri dan perasaanku saat mereka menyerangku. Baik tubuh, dan hatiku. Tapi aku sama sekali tidak mampu, aku sama sekali tidak kuat menghadapi siksaan mereka.

BRUKK!!!

"Eh?"

Aku mendengar sesuatu yang jatuh dari tempat pohon maple aku duduk. Karena takut penduduk desa melihatku, aku segera bersembunyi. Aku takut kalau mereka akan menangkapku dan menyiksaku lagi. Aku semakin erat memeluk lututku dan berusaha untuk tidak bersuara. Tapi aku tidak mendengar suara apapun, bahkan langkah kaki.

Persekian detik aku yakin itu tadi bukan penduduk desa yang mencariku. Memberanikan diri untuk mengintip dari balik pohon, mataku terbelalak.

Seorang gadis terkapar di tanah tidak jauh dari tempatku bersembunyi.

Ucapku refleks dan melonggarkan rasa waspadaku. "Gadis..."

Tapi takut jika itu adalah perangkap warga desa, aku mengurungkan niat untuk menolongnya, dan kembali bersembunyi. Konflik batin pun terjadi tatkala aku ingin berusaha menolong gadis tadi, dan ketakutanku akan penduduk desa. Mungkin dia juga akan ketakutan melihat gadis dengan kelainan warna rambut sepertiku menolongnya.

Aku... aku tidak ingin mengabaikanya...

Aku...aku tidak ingin membuatnya takut...

Aku...

Aku segera keluar dari tempat persembunyianku, dan berlari menuju ke arah gadis yang terkapar tadi. Saat membalik tubuhnya yang menghadap ke tanah, aku tertegun. Aku tidak pernah melihat gadis secantik ini seumur hidupku.

Kulitnya yang putih bersih, dan sangat halus dibalut kimono coklat muda dengan lukisan bunga-bunga sederhana di sana. Kotoran dari debu dan pasir tidak mengurangi keayuan wajahnya sedikitpun. Dan juga mahkota dikepalanya, aku tidak pernah melihat rambut coklat pasir seindah ini. Namun semua kekagumanku segera kusimpan dan berusaha menyadarkan bidadari yang datang entah dari mana ini.

"Nona, nona...!"

Aku mengguncang tubuhnya perlahan. Namun tidak ada respon. Aku segera meletakkanya ke dasar lagi, dan mendengarkan detak jantungnya. Buru-buru aku dengarkan. Syukurlah jantungnya masih bekerja. Tapi tidak ada gunanya kalau dia belum sadar.

The Story of AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang