"Hei, lo gapapa?" Perempuan itu menoleh ke arah Cici dengan mata hampir menangis. "Kenapa?" Kali ini Cici yang panik.
"Ponsel gue hilang." Perempuan itu menjawab dengan suara bergetar.
Aku melirik gantungan namanya, tertera nama Zena Uzlyfatun Aini. Nama yang indah.
"Zena ya?" Cici mangut mangut. "Kapan lo sadar kalau ponsel lo ilang?"
"Hm, tadi gue nelpon Papa terus ponselnya gue masukin tas. Terus pas mau ngambil dompet gue, ponsel nya udah ngga ada." Zena kali ini sukses menangis.
"Coba sini tas lo." Cici meraih tas goni punya Zena yang kelihatan lebih rapih dari punyanya.
Dia melihat ke dalam tas, lalu menghela nafas panjang. Sedangkan Zena masih tersedu sedu. Sebegitu berharganya ponsel dia sampai membuatnya sangat sedih, sepertinya.
"Ponsel lo warna rose gold ya?" Tanya Cici datar. Zena mengangguk pelan, lalu menyeka air matanya. Cici kembali menghela nafas.
"Nah," Cici menyodorkan sebuah ponsel kepada Zena." Ini kan yang lo cari? Ponsel lo ga ilang, cuma ketindih sama binder lo. Jadi ngga keliatan."
Zena langsung sumringah, lalu tanpa sadar memeluk Cici yang tidak menyangka akan reaksi yang menurutnya agak berlebihan.
Setelah saat itu, Cici dan Zena sangat dekat. Mereka juga menjadi teman yang sangat baik. Mungkin kalimat yang lebih tepat adalah, sahabat baik.
***
Lelah.
Itu adalah kata yang tepat untuk mendefinisikan perasaan Cici dan Zena saat ini.
Dijemur di terik matahari yang hampir sejajar di atas kepala, sedangkan para seniornya berdiri di bawah pohon teduh. Nice.
Zena mendengarkan dengar seksama,sedangkan Cici seperti tidak menanggapi sama sekali apa saja ucapan ketua OSIS yang sedang berbicara didepan podium. Masa bodo.
Zena menyikut Cici. "Perhatiin woi,ntar lo malah kena hukum."
"Iya, gue dengerin kok." Cici menundukkan kepalanya, dia ngantuk. Dia kemudian memejamkan matanya. Zena yang melihat sahabatnya ini hanya menggelengkan kepalanya.
"Jangan salahin gue kalo lo dihukum." Zena mengoceh tanpa ditanggapi oleh Cici. Zena mendengus kesal dan kembali memperhatikan ketua OSIS.
Ketua OSIS sudah selesai memberi instruksi, dan semua murid baru langsung menuju aula. Semua,kecuali Cici yang masih berdiri dengan mata tertutup.
"Hei!"
Cici tidak menanggapi.
"Hei!" Kali ini dengan tepukan di bahu.
Pukulan itu berhasil mengangetkan Cici. Dia membuka matanya, kemudian berbalik dan mendapati seorang cowok tinggi dengan rambut cepak rapih yang terkesan gagah untuknya.
"Iya kak?" Tanya Cici polos.
"Apanya yang iya?" Tanya cowok itu,kali ini dengan sedikit geram.
"Hah?" Cici linglung.
"Lo ga denger tadi disuruh ngapain?" Tanya cowok itu yang terlihat di name tag-nya ternyata bernama Dianda Divo.
"Ngapain?" Cici malah tambah linglung. Dia memandang sekitar,ternyata sudah kosong. Bahkan Zena pun juga tidak ada.
"Lo ga dengerin?" Divo menaikkan sebelah alisnya. Dan mendapati Cici yang menggelengkan kepalanya kikuk.
"Jadi Lo ngapain daritadi?"
"Berdiri kak." Cici mengigit bibir bawahnya sambil menokok kepalanya pelan. Dia benar-benar tidak menyangka kalimat itu bakal terucap dari mulutnya. Dia tidak berani menatap Divo.
"Udah. Lo ikut gue!" Tanpa instruksi kedua Cici mengikuti Divo dengan kepala tertunduk. Sesekali dia juga mengutuk Zena yang malah ninggalin dia begitu saja.
Divo berjalan dengan langkah besar,sehingga Cici harus berlari kecil untuk menyamakan langkahnya.
"Aduh."
Cici meringis saat sadar dirinya menabrak punggung Divo.
"Udah bego, mata ga dipake lagi. Itu mata cuma lo jadiin aksesoris doang?" Divo berkata dengan datar dan menusuk.
"Habisnya Kaka berhenti mendadak sih, makanya jadi nabrak." Cici menjawabnya masih dengan kepala tertunduk.
"Makanya kepala tuh diangkat, nyari kecebong lo?"
Mana ada kecebong di lapangan batin Cici.
"Maaf kak." Kata itu yang keluar dari mulut Cici, karena dia tidak mungkin ngebantah dan ngehujat Divo. Walau sebenarnya dia ingin sekali.
"Lo udah bikin kesalahan dua kali. Padahal MOS masih dua hari lagi. Entah besok Lo bakal buat kesalahan apa lagi, gue gatau." Divo geleng geleng kepala.
"Disekolah ini bukan tempat untuk orang yang suka buat kesalahan. Kalo cuma buat tenar mending Lo cari sekolah lain!" Nada Divo agak naik satu oktaf dari sebelumnya, dan menekan semua perkataannya.
"M-maaf kak." Kali ini Cici benar-benar kalut sendiri. Dia benci dibentak.
"Lo kesekolah ini mau nyari tenar?" Tanya Divo datar. Cici hanya menggeleng, tanpa mengangkat kepalanya.
Lagi-lagi nunduk batin Divo kesal
Divo masih memandang perempuan didepannya yang sedang tertunduk dengan perasaan sedikit geram. Dia sedang kesal.
"Lo ikutin gue,tapi dengan jalan jongkok. Gue gamau tau."
Anjir, dia nyuruh gue tanpa mikir. Suek ni orang! Cici mengata-ngatai Divo, tentunya didalam hati.
"Buru!" Divo langsung berjalan tanpa melihat kebelakang,dan Cici harus mengejarnya.
Dan kejadian ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Tanpa ampun, tanpa belas kasihan, tanpa istirahat. Eh, engga deng. Istirahat kok,tapi cuma 15 menit.
Kalau kata Cici, tiga hari itu merupakan hari dimana neraka sedang berjalan dengan malaikat maliknya. Tentu saja Divo.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA♕[ON GOING]
Fiksi Remaja⚠️FOLLOW SEBELUM BACA!!!⚠️ Takdir memang suka bermain dengan kehidupan, seperti takdir Cici yang bertemu kembali dengan Divo diwaktu yang tidak disangka. Mereka kembali bertemu dan masih dihantui oleh masa lalu yang kelam. Divo berusaha mencari seb...
♕One♕
Mulai dari awal
![AURORA♕[ON GOING]](https://img.wattpad.com/cover/60544432-64-k75216.jpg)