11 | Abdi Bogoh ka Anjeun

Start from the beginning
                                    

"Gue ajarin manajemen mau?"

Aurora yang sudah selesai dengan time lapse-nya, menghentikan pegangannya pada kamera lalu menghadap Arlo, "Maksud lo? Random amat dah."

Biar gue sering liat lo, ngerti ngga sih lo? Cewek kok bolot banget. Begitu batin Arlo.

"Gue ngerasa utang budi aja. Lo sama nyokap lo udah bantuin Shafira belajar. Dan lo ngga minat belajar panjat tebing. Jadi gue nawarin itu aja."

"Tawaran mencurigakan. Males gue deket-deket sama lo." Munafik 'kan lo, Ra. Aslinya udah lemes 'kan kaki lo? Setan dan Malaikat Aurora sudah debat sendiri di dalam sana. "Yaudah gue mau." Jawab Aurora akhirnya.

Arlo hanya tersenyum mengejek. Dalam hati sih udah rebanaan.

Aurora tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Sejak ke puncak berdua malam itu, dia dan Arlo sudah jarang bertegur sapa. Padahal dia kira ... hubungan mereka akan semakin membaik. Aurora terlalu gengsi menyapa dulu dan Arlo juga tak mau repot-repot menyapanya saat sedang kumpul Nusapacita. Cowok itu tampak selalu sibuk untuk persiapan diklat Nusapacita. Aurora sebal!

Sampai akhirnya mereka berbicara santai di depan kawah Gunung Gede yang memesona.

"Menurut lo what's the greatest invention of all time?" tanya Aurora random sambil menyelonjorkan kakinya yang pegal karena terlalu lama ditekuk.

Arlo yang dipandang Aurora tampak menegapkan punggung, "Book. Books break the shackles of time. A book is proof that human are capable of working magic."

Aurora mencibir, "Sok filsuf lo. Quote siapa itu ngomong-ngomong?" Aurora tak membantah sama sekali begitu sudah melihat lebih dekat bagaimana bentuk apartemen Arlo yang banyak sudutnya diisi dengan buku. Bahkan dia bisa sejago ini masalah manajemen keuangan. Mana dia sangka sebelumnya.

"Carl Sagan."

"Njir, lo tahu dia juga?" tanya Aurora skeptis.

"Jangan bilang lo tahu," balas Arlo singkat.

"Mana gue doyan baca begituan. Emak gue noh fans beratnya."

"Nyokap lo ... seru ya. Beruntung lo."

Beberapa kali Arlo selalu membelokkan pembicaraan ke arah ini. Tapi Aurora pasti tak merasa nyaman. Entah kenapa, dia merasa tidak berhak mendengarkan apapun tentang kehidupan pribadi Arlo. Toh Shafira sudah bisa disembuhkan tanpa mengorek info lebih tentang keluarga mereka. Lagipula ... dia dan Arlo kan tidak sedekat itu. Iya ngga sih?

"Hidup ini ilusi yang dibentuk sama pikiran kita. Lo percaya?" tanya Arlo lagi karena tak mendapat jawaban.

"Do you think or do you think that you think? Tau ah. Omongan lo bikin gue pusing. Diem dulu gue mau ngitung discounted payback period dulu. Belum juga selesai belajar teorinya udah dijejelin itungan begini lo bisa bayangin ngga sih stressnya gue kaya apa. Kenapa sih bokap—"

Blah blah blah

Arlo suka sekali mendengar Aurora mengoceh. Mau sampai Bumi kebalik 360 derajat juga bakal senang saja dia mendengarnya.

"Heh, gue laper," kata Arlo niat mengusili Aurora yang sudah sibuk lagi.

"Jangan nyuruh gue masak," jawab Aurora masih setia dengan buku di depannya.

"Selalu aja bilang gitu. Ujung-ujungnya gue yang modal buat beli makan. Ngga bisa masak lo ya?" tanya Arlo dengan wajah penuh cemoohan.

Aurora membanting pensilnya keras, selain kesal karena hitungan, kesal juga pada Arlo yang daritadi ada saja sikapnya yang mengganggunya. "Apasih. Salah emang kalo gue ngga bisa masak?"

CompliantwinWhere stories live. Discover now