04.

62.5K 4.3K 74
                                    

Nico berjalan gontai di sepanjang blok perumahan elite tempatnya tinggal. Tubuhnya yang terbalut seragam futsal lengkap dengan celana futsal selutut dan kaos kaki sebetis, serta sepatu futsal berwarna kuning membuat tubuhnya tampak begitu atletis.

Tidak sedikit gadis remaja yang berpapasan dengan Nico di sepanjang jalan mencuri lirik untuk menatap cowok bertubuh jangkung tersebut. Apalagi rambutnya yang dibasahi bulir-bulir keringat membuatnya semakin terlihat keren.

Nico sendiri tampak acuh pada sekitar. Dia berjalan tanpa melirik kesana kemari dan memperdulikan manusia yang berpapasan dengannya, yang senyum-senyum sendiri melihat ketampanannya. Iya, Nico tida perduli.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam ketika Nico menginjakkan kakinya di depan rumah mewah bernomor 27. Seorang satpam yang berjaga di pos disamping gerbang segera membukakan pintu untuk anak majikannya tersebut.

"Wuih, den Nico, baru pulang main bola ya?" ucap pak satpam ketika Nico masuk lewat gerbang yang ia buka.

Nico tersenyum tipis. "iya pak," jawabnya singkat. Satpam berkumis itu hanya bisa menggeleng heran melihat anak majikannya itu yang selalu pulang dan pergi tanpa membawa kendaraan pribadi dan lebih memilih naik kendaraan umum atau ojek, padahal di garasi ada dua mobil yang memang tersedia untuknya, juga sebuah motor sport yang sangat jarang disentuh.

"Assalamualaikum" ucap Nico sambil masuk ke dalam rumahnya yang tampak sepi. Hanya seorang wanita paruh baya berdaster yang menyambutnya di pintu.

"Walaikumsalam, den! Sepatunya taro aja disitu, nanti mbok yang beresin." Ucap wanita paruh baya tersebut saat melihat Nico sedang melepas sepatu futsalnya dan bersiap akan menaruhnya di rak sepatu. Nico tersenyum sekilas.

"Gak usah mbok, Nico aja." Ucapnya halus.

Mbok Ning-wanita paruh baya-mengangguk sambil menutup pintu.

"Aden pasti capek, mbok udah masak tuh, sarden sama tempe orek kesukaan aden," ucap Mbok Ning melihat Nico sedang menyandarkan tubuhnya dengan lelah ke sofa. Nico lalu membuka matanya yang sempat terpejam sejenak. "Hm, makasih mbok, Nico mandi dulu baru makan," ucapnya sambil berdiri dan berlalu ke lantai atas dimana kamarnya berada.

Mbok Ning hanya bisa menatapi punggung tegap tapi seperti meminggul banyak masalah Nico itu dengan tatapan iba. Ia maklum melihat sikap dingin Nico yang cendrung banyak diam.

Nico terlahir dari pasangan suami istri pengusaha dan pebisnis yang mengharuskan keduanya lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Meskipun Ayah dan Ibu Nico selalu pulang setiap hari, tetapi mereka pulang disaat Nico sudah mengunci diri di kamar dan pergi sebelum Nico keluar kamar. Sedangkan di hari libur, saat kedua orang tuanya berada di rumah, Nico lebih memilih menghabiskan waktu dirumah Arif atau Dika.Lagipula walaupun keduanya di rumah, tetapi tetap saja berkutat dengan pekerjaan membuat Nico merasakan sama saja ada atau tidaknya mereka. Sejak bayi, Nico diurus oleh Mbok Ning setelah neneknya meninggal. Dan semakin tumbuh dewasa, Nico menjadi semakin pendiam dan dingin.

Seolah dirinya sadar yang menemaninya selama ini hanyalah keheningan. Dan Nico, mulai bersahabat dengan keheningan.

Mbok Ning sangat senang saat Nico berteman dengan anak bernama Arif sewaktu sekolah dasar. Menurut Mbok Ning, Arif adalah teman pertama Nico. Karena selama Mbok Ning menjadi pengganti orang tua Nico untuk mengambilkan rapotnya di SD, Mbok Ning sering diberitau guru wali kelas Nico kalau dia tidak punya teman dan menolak segala jenis pertemanan yang ditawarkan teman-temannya.

Namun saat pertengahan kelas tiga SD, Mbok Ning tekejut saat Nico dibawa pulang oleh seorang bapak-bapak dan seorang anak yang seumuran dengan Nico. Katanya, Nico sakit perut saat sedang menunggu jemputan dan kebetulan di sekolah sudah sepi dan Arif dan Ayahnya yang baru saja akan pulang melihat Nico yang sedang berjongkok di sisi pagar sekolah sambil memegangi perutnya. Alhasil, Papanya Arif membawa Nico ke klinik dan mengantarnya pulang.

MeltedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang