Bagian 3

631 54 2
                                    

     Banyuwangi Green and Clean. Tulisan besar di baliho itu menyambut kedatanganku di Banyuwangi. Kemudian aku turun dari pesawat berjenis ATR-72 yang membawaku terbang melintasi selat Bali selama sekitar 30 menit yang lalu. Aku menarik nafas dan mulai menilai kualitas udara di sini. Udaranya segar, tak heran karena bandara Blimbingsari ini berada di tengah area persawahan yang di pinggirnya masih banyak pepohonan. Ya, slogan Banyuwangi Green and Clean nampaknya cocok dengan kabupaten ini.

     Jika seorang gadis yang pindah rumah pada umumnya disambut oleh keluarga, hal itu sangat berbeda denganku. Tak ada yang menyambutku. Bahkan aku harus memanggil taksi dan mendorong dua koperku seorang diri.

     Bergegas aku melambaikan tangan kepada taksi yang berada paling dekat dengan posisiku. Tanpa pikir panjang, aku segera memasukkan koper ke bagasi belakang dan segera meringsek masuk ke kursi penumpang.

     Prok Prok Prok. Supir taksi itu bertepuk tangan, dilanjut dengan ucapan "Hebat sekali kamu Arch-108! Hmm maaf, siapa nama barumu? Ara? Masih sama seperti yang dulu, strong and beautiful."

     Deg! Aku kaget bukan main. Aku segera merogoh pistol di saku kanan celanaku. Bagaimana bisa supir taksi ini mengetahui identitasku? "Hmm, kamu masih sangat cekatan juga ternyata. Letakkan dulu pistolmu itu. Apa kau tak mengingatku, Arch? Coba, perhatikan wajahku lebih dekat."

     Aku meletakkan pistolku lagi, entah mengapa aku menuruti supir taksi brewok itu. Lalu aku memperhatikan wajahnya lekat-lekat melalui kaca taksi. Mata itu.. aku seperti mengenalnya, alis yang tebal dan terdapat tahi lalat diantaranya, seperti familiar bagiku. Butuh 10 detik untukku menerka wajah itu. Wajahnya masih tetap, hanya saja terdapat tambahan brewok dan kumis tipis. Theo-2020, tak salah lagi. "Apa kamu Theo???"

     "Yap, benar nona Arch, aku Theo, asisten misi keduamu dulu." Tak salah lagi, dia Theo, asisten misi keduaku dulu. Bagaimana bisa aku melupakannya? "Long time no see, where have you been, Theo?" Aku berkata sambil menepuk bahunya.

     "Seusai misi keduamu, tuan-R mengirimku ke Ohio, Amerika untuk memperdalam ilmu intelijen. And then, satu tahun yang lalu aku mulai hidup berpindah-pindah, menikmati seluruh pelosok Indonesia, seorang diri. Ya, walaupun kesepian, aku amat menikmatinya. Dan kini aku mendapat tugas untuk mengantarmu ke rumah barumu, Arch. Senang bisa bertemu lagi. Bagaimana penyamaranku sebagai supir taksi yang tampan ini? Sangat berhasil bukan.. aku berhasil membuat seorang Arch ketakutan dan mengeluarkan pistolnya." Theo mengakhiri kalimatnya dengan seringai lebar khas miliknya. Aku hanya tertawa di dalam hati menyaksikan hal itu.

     "Hei! Aku tidak takut! Aku hanya.. mengantisipasi, hahaha!" Gelak tawa kami berdua menghangatkan dinginnya taksi pada saat itu. Aku mulai memasang sabuk pengaman dan mercari posisi duduk paling nyaman. Theo pun memulai perjalanan menuju 'rumahku'. "Selamat datang di Banyuwangi, Kusuma Ara Rinjani. I hope you like this beautiful city." Aku hanya tersenyum mendengarkannya. Ternyata, ada yang menyambutku di sini.

***

     Taksi melaju kencang saat itu. Berbeda dengan di Bali, jalanan di Banyuwangi lebih terlihat lancar tanpa hambatan berarti. Di dalam taksi itu Theo menyalakan radio hingga terdengar suara penyiar yang renyah. Tak lama kemudian diputar sebuah lagu yang sepertinya lagu dengan bahasa Banyuwangi. Sungguh syahdu nadanya, namun tetap saja, aku tak mengerti apa artinya.

     Theo memarkir taksinya di depan sebuah bangunan-yang sepertinya rumah- tua berwarna biru telur asin itu. Apakah ini rumahku? Pikirku dalam hati.

   "Yak! Ini memang rumahmu, Ara!" Pekik Theo, sepertinya Ia tahu persis apa yang ada di pikiranku. "Disini kamu akan diasuh oleh Fahri dan Manda, mereka pensiunan pegawai intelijen di negara ini. Ya, tuntas sudah tugasku mengantarkanmu sampai kemari. Good luck, Ara. Kamu bisa memasuki rumah ini dengan sandi PAR737. Panel sandi ada di samping kotak listrik. Have a good day!"

     "Thanks Theo." Balasku singkat. Ia lantas menyalamiku dan kemudian Theo masuk ke kemudi taksinya lantas pergi entah ke mana. Lelaki itu, selalu saja sigap dan cepat. Sepertinya hidupnya memang digariskan untuk kepentingan intelijensi.

      Aku segera meletakkan koper dan meraba tembok di samping kotak listrik rumah tua itu. Hanya 3 detik aku langsung menemukan soket panel sandi yang kucari. Segera aku memencet tombol nomor dan angka sesuai kata Theo tadi. P-A-R-7-3-7.ENTER. Pintu tebuka secara otomatis. Aku segera memasuki rumah itu. Rumah bergaya eropa klasik tahun 1800-an ini begitu megah dan terawat. Walau kuno, tapi bau ruangannya amat segar tak seperti rumah kuno kebanyakan yang berbau debu. Lalu aku duduk di sofa ruang tamu tanpa dipersilkan.

     Tak lama kemudian ada sepasang wanita dan pria datang menghampiriku. Sepertinya ini Fahri dan Manda, 'orang tuaku' disini. Aku bergumam. Mereka tersenyum lebar dan lelaki itu membuka pembicaraan "Hai, kamu pasti Ara, bukan? Perkenalkan Ara, saya Fahri, dan ini istri saya Manda. Theo pasti sudah memberitahumu kan?"

"Uhm, ya, Fahri. Ayah Fahri dan Mama Manda. Apakah kalian mau ku pangil seperti itu?" Ucapku.

     "Tentu saja, sweetheart. Tentu saja kami mau dipanggil seperti itu." Manda menghampiriku dan memelukku. Aku membalas pelukannya. "Mulai sekarang, kau resmi menjadi anakku, Ara." Manda berucap seperti itu seolah-olah ia baru saja mendapat sebuah rejeki besar. Ya, semoga saja aku bisa menjadi rejeki mereka berdua, bukannya malah menyusahkan.

     Bau parfum Manda masih tercetak jelas di hidungku. Bau bunga Lily segar khas ibu-ibu seumurannya. Manda sangat keibuan, Rambutnya panjang sebahu dan diurai begitu saja. Senyumnya sungguh manis ditambah kacamata yang menunjukkan wibawa dan kepintarannya. Lain dengan Fahri, Ia terlihat lebih berjiwa muda dengan pakaian yang Ia pilih. Kaos hitam agak ketat yang membentuk ototnya-yang sepertinya terawat itu- dipadukan dengan celana heavy jeans khas anak muda. Hmm, yaa.. pasangan yang saling melengkapi. Gumamku.

     Setelah perkenalan yang amat sederhana tadi, Manda mengantarku menuju kamar di lantai atas. Sebuah kamar yang lumayan lebar yang langsung berhadapan dengan balkon. Sepertinya aku akan nyaman tinggal di sini. Setiap malam bisa dipastikan aku tak akan ketinggalan melihat bintang dan gesekan asteroid dengan atmosphere yang melintas. Kamar ini sungguh lengkap, terdapat kamar mandi kecil di dalamnya, ada komputer, lemari yang besar, kasur yang empuk, dan tak lupa, peta dunia terpancang di tembok depan kasur. Sepertinya Tuan-R memang tak mau mengecewakanku dalam urusan pribadiku. Tercermin dalam betapa telitinya beliau 'memesan' kamar ini untukku. Kamar ini sungguh cerminan diriku.

     Semua baju bawaanku telah ku masukkan ke dalam lemari. Aku butuh istirahat setelah melakukan upacara 'pindah rumah' yang lumayan menguras tenaga ini. Aku merebahkan tubuhku diatas kasur yang dibalut sprei ungu itu. Aku menatap langit-langit kamarku yang berwarna biru. Hari ini, hidupku telah baru lagi. Aku harus merefresh otakku. Membangun ruang di serebrumku dan memberi nama ruang itu dengan nama BALI, agar seluruh memoriku tentang Bali tersimpan di sana. Sekarang aku harus membuka ruang baru, dan memulai 'hidup baru' ini di Banyuwangi.

     Hmm apakah besok aku masih harus sekolah? Ya, tentu saja iya. Jika tidak, pasti warga akan curiga dengan keberadaanku di rumah ini. Hmmmm, sekolah baru, teman baru, guru baru. Seperti apa kira-kira wajah mereka? Terkaan seperti itu membuat mataku kian mengantuk. Kali ini aku tak bisa mengalah, aku ingin pasrah saja, karena hari ini cukup berat. Kantuk pun menjajah dan menuntunku memasuki alam tidur.

***

********
Authors note:
Hai all! Nantikan part selanjutnya ya ;) update soon. Jangan lupa vote and add to your library. We're very pleased to lead you to enter Ara's world!

Cheerss,

Aelea & Zap.

LATENTWhere stories live. Discover now