Bagian 2

879 57 11
                                    

Nusa Dua,

12 Juni 2012.

   Hari baru, jadi pribadi baru.

   Benarkah pepatah itu? Hanya kiasan, hanya bualan, hanya melebih-lebihkan. Tidak ada hal seperti itu, kan? Setiap hari, orang-orang adalah orang yang sama, pribadi yang sama dan identitas yang sama tak ada pribadi baru setiap harinya.

   Tidak. Tidak bagiku. Bagiku, setiap hari adalah hari yang baru.

"Oliv!" Seseorang memanggilku dari kejauhan.

   Tidak kuhiraukan panggilan itu. Aku sibuk. Melihat semua barang-barangku berantakan disini rasanya tidak pas, aku ingin membereskannya.

"Oliv!" Suara itu semakin mendekat. Dari suaranya yang melengking dan mendayu-dayu aku sudah tahu ia siapa. Dasar wanita jalang.

   Kumasukkan semua barang-barangku ke dalam box. Baju-bajuku, oh padahal aku menyukainya. Sepatu-sepatuku, padahal mereka sangat nyaman dipakai. Foto-fotoku bersama teman-teman, ini semua terlihat bagus. Tapi maaf semuanya, aku akan dan harus melakukan rutinitas ini.

"Helloooooo! Oliv!" Wanita itu tiba-tiba menepuk keras pundakku dan berteriak.

    Arrggh. Rasanya semua saraf bebas di kulitku secepat kilat menyalurkan impuls ke otakku. Pundakku terasa berdenyut dan terpaksa berbalik dengan jengkel.

"Sebaiknya kamu cepat! Tuan-R telah menunggumu." Ia menggeliat-geliat bak model seksi. Atau.. justru terlihat seperti cacing?

    Aku memutar bola mataku dan menatapnya lekat-lekat. Maju satu langkah sehingga aku hanya berjarak beberapa inchi saja darinya. "Tunggu. Bisa?" Tatapanku sadis dan dingin.

    Ia mundur selangkah dan terlihat ketakutan hingga membentur meja. "A.. Apa maksudmu? Kamu tahu ia tidak suka menunggu, kan?"

    Aku mengadahkan tangan, memberi isyarat meminta sesuatu darinya. "Berikan itu kepadaku."

"Berikan apa? Aku tak punya apa-apa!" Ia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Cih. Dasar wanita jalang.

"Korek di tanganmu, Valda!"

"Ohh... ini... hehehe." Ia terlihat salah tingkah dan segera memberikan korek yang aku minta.

    Kuambil korek itu dan memantikkan apinya. Kupandangi api yang terbentuk karena pembakaran senyawa yang mengandung oksigen. Ah. Sudah berapa kali aku melakukan ini? Satu? Tiga? Sepuluh? Kubakar selembar kertas dan kulemparkan ke tumpukan boxku. Sekarang semuanya dilumat api. Aroma dari carbon monoxide tercium sangat familier di hidungku. Aroma ini menandakan dimulainya hari baruku.

    Setelah selesai, Valda menggiringku untuk menemui Tuan-R yang katanya telah menungguku. Dari belakang kulihat Valda yang menggunakan kemeja ketat dan rok mini dengan stilletto berukuran 10 cm, berjalan melenggak-lenggok diiringi suara ketukan sepatunya. "Cih. Dasar korban hormon." Gumamku pelan.

    Valda berhenti di depan sebuah pintu dan mengisyaratkanku untuk masuk terlebih dahulu. Kudorong perlahan pintu kayu bermotif Patra Punggel itu. Wangi pengharum ruangan beraroma cinnamon dan sejuknya Air Conditioner menyambutku. Semua interior disini terasa pas. Tembok yang berwarna cream dipadu dengan perpaduan kayu jati dan mahoni sangat terlihat pas. Selera Tuan-R tidak diragukan lagi.

"Oliv! Lama tidak berjumpa ya?" Ia memulai pembicaraan. Dengan senyuman lebar sangat riang yang dibuat-buat, ia menjabat tanganku.

    Aku membalas jabatannya dengan ekspresi datar. "Sudahlah. Anda sering berjumpa dengan saya, Tuan. Jelaskan dan jangan basa-basi. Kali ini dimana?"

    Tuan-R terbahak. "Wah wah.. Santai dulu, kamu selalu kaku seperti biasanya," Ia mengerem tawanya dan menyeruput secangkir kopi panas, terlihat samar-samar uapnya. "Tapi saya suka itu. Berarti kamu bersemangat menjalankan tugas," Ia manggut-manggut.

"Sejuk, hijau, dekat dari sini dan tidak terlalu ramai. Kamu tahu dimana? Bukan kota besar jadi cukup aman dan tentram."

    Aku tak bergeming dan tetap berekspresi datar menatapnya. Aku tidak suka basa-basi.

"Ehem. Baiklah sepertinya kamu sudah tidak sabar." Tuan-R mulai bernada serius. "Banyuwangi. Kamu akan ke Banyuwangi. Kamu tahu di mana itu?"

    Aku menyunggingkan senyum tipis, "Tuan, aku sudah hafal semua nama daerah di dalam peta dunia. Bagaimana bisa aku tidak tahu di mana letak Banyuwangi yang hanya berjarak enam senti dengan skala dalam peta satu berbanding empat ratus ribu senti  dari sini."

"Hahaha. Baiklah kalau begitu. Ini semua dokumenmu." Ia menyodorkan amplop coklat tebal.

    Kuambil amplop coklat itu dan kuintip perlahan-lahan dokumen baruku. Huh. Aku sudah berkali-kali begini. Aku bahkan tidak kagum mendapatkan banyak dokumen resmi Negara seperti ini dengan mudah dikala orang lain dengan jerih payah. Karena aku tahu semuanya akan berujung dilahap api.

    Tuan-R menatapku dengan serius. "Mulai detik ini, katakan selamat tinggal kepada Olivia Akarini." Sekali lagi Tuan-R menyeruput kopinya hingga tuntas. "Selamat datang, Kusuma Ara Rinjani."

Aku mengangguk.

    Sudah kukatakan sebelumnya, kan? Setiap hariku benar-benar hari yang baru. Orang yang baru, pribadi baru, bahkan identitas baru. Beginilah hidupku dan aku menikmatinya. Bukan bualan, bukan melebih-lebihkan dan bukan omong kosong. Ini adalah kenyataan yang mutlak.

   Oh iya. Salam kenal. Aku, Arch-108.

***

P.S : Patra Punggel = Seni ukir yang meliuk-liuk khas provinsi Bali. Search di Google deh, keren banget :)

LATENTWhere stories live. Discover now