"Bukan begitu...." Elle benar-benar gelisah.

"Di sana ada restoran Padang, sepertinya enak." Eric menunjuk pada restoran Padang yang letaknya masih di area apartemen ini.

"Wah, kebetulan! Gue titip ayam pop ya, Elle! Dari kemarin gue kepingin beli tapi males melulu." Si gadis usil terkekeh lantas menyambung, "eniwei, gue naik duluan." Gadis itu menoleh padanya dan memberi senyum sok akrab sebelum berlari kecil masuk ke dalam pintu apartemen sambil bersenandung ringan. Ah, ingatkan dirinya untuk berterima kasih pada gadis itu suatu hari nanti. Ia yakin, mereka pasti cocok.

"Jadi, ada apa dengan Devon? Kemarin dia baik-baik saja." Suara Elle membuatnya kembali menoleh dan memusatkan perhatiannya pada objek tujuannya.

"Ngobrolnya bisa sambil jalan? Perut saya lapar sekali." Ia menyeringai.

Dengan wajah muram, akhirnya gadis itu bersedia menerima ajakannya dan mengikutinya ke restoran Padang. Mereka hanya membutuhkan beberapa menit untuk mencapai restoran itu. Ia menoleh pada Elle, gadis itu terlihat khawatir. Dahinya yang ditutupi poni tipis berkerut.

Pintu masuk restoran Padang itu terbuat dari kaca gelap hingga ia tak dapat melihat keadaan di dalam dengan jelas. Tapi, sepertinya tidak banyak pengunjung di dalam sana.

"Semoga tidak ramai dan tidak ada yang merokok," cetusnya saat mereka tiba persis di depan pintu restoran.

"Kenapa? Anda anti asap rokok juga?" tanya Elle.

Eric membuka pintu di depan mereka lebar-lebar. Seraya tersenyum, ia mempersilakan Elle masuk duluan. "Oh, saya sih tidak masalah. Hanya saja, saya yakin Miss Elle pasti benci asap rokok, kan?" Ia menoleh pada Elle, gadis itu terlihat heran. "Atau, saya salah duga?"

"Kita duduk di sana?" tanyanya sambil menunjuk pada meja di sudut ruangan. Untungnya prediksinya tidak salah. Restoran ini sepi. Hanya ada beberapa orang yang sepertinya menunggu pesanan untuk dibawa pulang. Mungkin kebanyakan langganan restoran ini adalah penghuni apartemen yang memilih menikmati santap malam sambil duduk santai di sofa empuk dengan layar TV di hadapan mereka.

"Jadi, ada apa dengan Devon?" Elle rupanya tak ingin membuang-buang waktu dan langsung menuntut penjelasannya begitu mereka duduk.

Ia tertawa kecil. Gadis di hadapannya sungguh lucu. Ia terlihat seperti tengah menghadapi musuh yang berbahaya. Anehnya, sikapnya sungguh membuatnya penasaran.

"Saya pikir Miss Elle itu tipe perempuan penyabar."

"Lho, bukannya ini tujuan Bapak mengajak saya ke restoran ini? Buat membahas soal Devon?" Gadis itu melipat kedua lengannya dan menaruhnya di atas meja dengan sikap siaga.

Eric menahan senyumnya. Rasanya menyenangkan bermain-main dengan gadis itu. Somehow, gadis itu membuat adrenalin-nya mengalir deras."Bapak?" Ia menaikkan alis.

"Jadi, saya harus panggil anda apa? Om?" tanya Elle dengan wajah frustrasi.

"Ouch." Eric membuat ekspresi kesakitan. "Dipanggil 'om' bikin saya langsung merasa keriputan di sana-sini. Bisa nggak panggil saya Eric saja?"

"Tapi, kurang etis rasanya mengingat Bapak adalah wali anak didik saya," protes Elle.

Dengan gerakan santai, Eric menyesap teh hangat yang sudah tersedia di mejanya. Setelah selesai, ia pun berucap, ""kalau begitu, anggap saja saya ini temanmu. Beres, kan?"

Kini gadis itu menatapnya seolah-olah ia adalah pria sinting. Ia pun melanjutkan dengan nada ringan. "Dan saya akan buang embel-embel Miss dan mulai memanggilmu Elle. Mudah, kan?"

AFTER THAT NIGHTWhere stories live. Discover now