Antariksa geleng-geleng.

"Mas, adikmu kapan pulang?" tanya Ayah.

"Nanti sorean, Yah," jawab Antariksa.

"Kamu jemput ya, kasihan capek pasti. Nanti kalau tetap disuruh naik gojek bisa manyun kaya tikus," kata ayah lagi lalu tertawa.

"Iya, Yah. Nanti biar Mas yang jemput."

Hari Minggu seharusnya mereka bertiga olahraga di kompleks. Berhubung tiba-tiba hujan habis Subuh tadi, jadi mereka cuma bersantai di ruang keluarga. Ketidakhadiran Aurora di tengah mereka kurang membuat mereka bersemangat untuk melakukan aktivitas lain.

"Kak, adikmu kapan pulang?" tanya Bunda tiba-tiba setelah mengalihkan perhatiannya dari majalah yang dibacanya.

Yailah!

"Udah ...,"

"Udah Ayah tanyain barusan, Bunda," jawab Ayah mendahului pernyataan Antariksa.

"Eh emang iya ya?" Bunda nyengir. "Jemput ya Kak, nanti dia manyun kaya tikus kalau disuruh naik gojek," tambah Bunda lagi.

Ya Tuhan, tolong.

"Bunda sini deh, Ayah bisikin." Ayah menggerakkan tangannya tanda menyuruh Bunda menunduk.

Bunda menunduk dan langsung dicium pipinya oleh Ayah. Antariksa sudah merah wajahnya. Orangtuanya PDA pagi-pagi. Macam dia pajangan doang di sini.

"Ayah udah bilang begitu juga, Bunda."

"Ayah ih, cium-cium Bunda. Lihat itu si mas pengen," ujar Bunda mengerling ke arah Antariksa.

"Bunda dari kemaren godain si mas mulu, godain Ayah aja dong." Ayah merajuk macam anak kecil.

Antariksa langsung lari terbirit-birit keluar rumah.

Antariksa akhirnya memutuskan melanjutkan baca buku di teras. Suara air jatuh dari langit masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Suasana pagi itu terlihat sedikit muram. Ditambah angin yang berhembus kencang.

Dipandanginnya sebentar taman depan rumahnya yang tertata apik karena tangan bundanya.

Entah bagaimana akhirnya, pandangan Antariksa menabrak sesuatu.

Bukan hanya pandangannya. Tepatnya, pandangannya bertabrakan dengan indera seseorang. Di seberang jalan sana. Dengan payung hitam.

Jarak yang terbentang lebih dari dua puluh meter tak bisa menghalangi pengelihatan Antariksa kalau orang di seberang sana juga tengah menatapnya. Hanya itu yang Antariksa tahu. Kalau ditanya bagaimana ekspresi orang itu, salahkan hujan yang mengaburkannya.

Tapi Antariksa jelas tahu.

Siapa perempuan berpayung hitam itu.

***

Keduanya saling menumbukkan mata tanpa ada sekat selain air dan udara yang memisahkan. Keduanya sudah saling tahu, bagaimana ekspresi yang timbul dari pertemuan tak terduga ini. Keduanya sama-sama tak menyangka akan begini akhirnya. Setidaknya, perempuannya menyangka, dia masih akan jadi pecundang entah sampai kapan karena tak berani bertindak apapun selain diam bagai patung selamat datang. Lelakinya, tak tahu, harus memasang wajah bagaimana selain wajah datar bagai lantai yang diinjaknya.

Informasi saja, keduanya sudah berpandangan lebih dari tiga puluh menit. Pastinya tidak diikuti soundtrack lagu Jambrud –pelangi di matamu—karena hujan masih deras jadi pelangi masih lama.

Alyn, dia tak menyangka akan ke gap oleh Antariksa. Setelah pertemuan mereka seminggu yang lalu, cukup Alyn sadari, kalau dia lagi yang harus bergerak. Sudah sedekat ini, hujan sederas ini, Antariksa tak juga menyuruhnya masuk. Sekedar menyuruhnya menepi ke teras pun tidak. Satu kata pun tidak.

CompliantwinWhere stories live. Discover now