Aku cuma nyengir sambil bolak balik bilang maaf. Belakangan ini otakku memang terlalu dipenuhi sama masalah, jadi gak terpikir untuk reunian sama teman-temanku.

"Padahal baru setahun kita gak ketemu, tapi aku kok merasa ada yang beda di kamu ya." Ujar Gery begitu kami duduk di teras rumahku.

"Iya beda, makin gendut kan?"

Gery menggeleng. "Kamu lagi ada masalah ya?"

Aku tertawa renyah. "Aku gak ada masalah apa-apa kok. Ngawur kamu."

"Mata perempuan gak bisa bohong, Mita."

Aku terdiam. Aku baru tau kalau Gery punya kemampuan membaca bahasa tubuh yang teramat luar biasa. Tapi jangan panggil Mita kalau gak bisa mengatasinya.

"Iya, ada masalah kecil." Jawabku tenang. "Rencananya aku mau pindah kesini. Tapi disisi lain aku agak berat ninggalin kehidupan disana. Kamu sendiri tau kan gimana asiknya hidup disana. Teman-temanku, kerjaanku, yeah kind of things. Jadi semacam bimbang gitu."

"Ooh begitu." Gery mengangguk. Syukurlah dia melunak. "Terus pacar gimana, Mit?"

"Tenang aja, aku lagi dijodohin sama anak teman mamaku. Kamu tunggu aja undangannya tahun depan." Godaku.

Dia tertawa geli. "Ya ampun Mita, akhirnya laku juga."

Aku mencubit lengannya. Meskipun nyebelin, tapi aku bersyukur masih ada yang memberiku perhatian.

Kami mengobrol sekitar 2 jam. Setelah itu Gery pamit pulang, katanya dia ada urusan. Aku maklum, disaat-saat kayak gini kan cuma aku yang gak punya kegiatan apapun. Cuma bisa nunggu dan berharap ada laki-laki yang bersedia nikahin aku. Itupun kalau ada.

 
***
 

"Tia boleh ikut ke Jakarta, kak? Tia males masuk sekolah. Jadi kalau ikut kesana otomatis Tia punya alasan untuk izin."

Aku menjewer telinganya. "Gaya mau kuliah diluar negeri tapi sekolah aja males. Lagipula gue kesana bentar aja kok, cuma ngurus barang-barang sama apartemen doang. Jadi palingan nanti Mama aja yang nyusul pas hari ketiga."

Tia memonyongkan bibirnya. "Tapi, Tia lagi males banget ke sekolah kak. Mantan Tia masih terus-terusan nguntit Tia buat ngajak balikan."

Aku terdiam. Dalam hati aku sedikit iri, mantannya masih rela nguntit dia cuma sekedar memohon untuk balikan. Sedangkan Devan, astaga, aku sangat merindukan dia. Apa dia masih mikirin aku? Sialan, membayangkannya aja mataku terasa panas.

"Jangan jadikan pacaran alasan lo buat males sekolah." Nasihatku yang malah dibalasnya cuek.

Beberapa saat kemudian Mama masuk ke kamarku. "Jadi jam berapa kamu berangkat?" Tanya Mama sambil membantu membereskan baju-bajuku yang berserakan di lantai.

"Sekitar jam 6 pagi, Ma."

Aku mengambil laptopku ketika Mama dan Tia keluar dari kamar. Walaupun sedikit ada rasa takut, tapi aku memberanikan diri membuat surat resign. Kuakui aku ini bukan pekerja profesional. Aku juga gak heran kalau posisiku sekarang sudah diganti orang lain. Tapi untuk menebus semua itu aku akan berusaha bersikap yang semestinya.

Setelah selesai, aku mengambil selimutku dan beranjak tidur. Lagi-lagi air mataku keluar lagi. Sejujurnya belum pernah aku merasa setakut ini. Rencanaku yang mau balik ke Jakarta dari 2 bulan yang lalu terpaksa aku tunda karena rasa takutku ini. Aku menyesal dengan kepulanganku yang mendadak. Seharusnya lebih baik aku selesaikan semua urusanku waktu itu, jadi aku gak perlu repot untuk balik kesana lagi. Aku mengeluh, mulai besok sampai tujuh hari ke depan akan jadi hari yang berat. Aku berjanji akan bersembunyi dengan semaksimal mungkin.

Hold Me CloserKde žijí příběhy. Začni objevovat