Serial Kanjeng Ibu

166 12 2
                                    

Hirup

Keluarkan

Hirup

"Gugup ya?" Cengiran orang disebelahku menghambat ritual penenangan jiwaku.

"Mohammed Habibi Erdogan, mas aku yang paling ganteng diem."

"Makasih lo dek jarang kamu muji mas begitu. Yaudah mas ketukin deh."

"Mas janggggg..."

Tokoktok

Dasar semprul. Wedhus tenan. Batin Rain.

Dengan tampang tak bersalahnya, dia pergi begitu saja. Sekarang menyisakan aku disini. Semoga saja tidak apa-apa.

Aku membuka pintu dengan senjata andalanku. Cengiran tak bersalah. Sedikit keberanian memandang ibuku. Ah... ibu pasti juga sudah tahu ulahku.

"Wa'alaikumsalam Rain. Akhirnya mas kamu bisa bawa kamu pulang Rain." Kata beliau sambil melepas kacamatanya.

Pulang? Oh ayolah. Bahkan ini bukan Indonesia bu. Ini di Singapura. Apanya yang dibilang pulang? Benar-benar pintar menyindir kanjeng ibu ini ck. Batin Rain.

"Ibu..." Kali ini beliau bangkit dari singgasananya dan aku masih berdiri seperti terdakwa.

"I apologize. I'm sorry. I mean..."

"Oh dug, i accept your apology. Come here. Hold me." Ibu berjalan kearahku sambil merentangkan tangannya.

Aneh? Gak marah? Batinnya.

"Maafin ibu yo dug. Mulai besok kita ketemu dokter ya?" Aku melepaskan pelukan ibuku. Melihat sedikit was-was. Perkataan yang aneh. Aku sehat, kenapa ke dokter?

"Ibu sudah tahu semuanya dug. Kamu gak perlu menyembunyikan lagi sama ibu. Salah ibu, ibu bertengkar dulu didepan kamu dug."

Perkataan yang semakin membingungkan untukku.
Batinku.

"Ibu, Rain mboten sakit. Jadi kita ndak perlu ke dokter" kataku sambil mengkerutkan beberapa lipatan didahiku.

"Atau jangan-jangan ibu maksud..." Kali ini aku menjauhi ibuku. Tidak. Pasti bukan itu maksud ibuku kan?

"Ibu mau bawa Rain ke rumah sakit jiwa." Aku menggelengkan kepalaku. Apa semua orang berpikir aku gila. Kemarin Hiro sekarang ibuku sendiri.

"Rain mboten edan bu..." kataku lirih sambil menggelengkan kepalaku. Sakit. Orang yang sangat aku sayangi menganggap aku tidak normal.

"Ndak dug. Kamu cuma sakit bukan edan." Ibuku mendekapku erat hingga aku bisa merasakan detak jantungnya berpacu bersama detak jantungku. Aku masih tetap terisak dalam tangisku yang mulai mereda. Kemudian aku lepas pelukan ibuku.

"Iya Rain mau ke dokter bu."

"Yasudah kamu istirahat biar besok mas kamu yang anter dan nyiapin semua keperluan kamu."

*****

Toktoktok

Kepalanya muncul dari balik daun pintu. Matanya menyipit dibarengi ringisan. Aku mentapnya tajam.

"Go away mas!"

"No. You are supposed to be saying who is there? Then i tobe saying moooo..."

"Kekanak-kanakan mas. Salahku apa punya mas begini ck."

Dia tersenyum seribu watt. Mendekatiku dan mengelus kepalaku lembut. Tatapan menentramkan. Terkadang aku bersyukur memiliki kakak seperti dia ya kadang. Kadang saat seperti ini atau kadang ketika dia gajian dan aku diberi persenan. Tapi bukan saat ketika dia berlagak sok posesif.

"Emm. Mas sebenernya aku masih mengkhawatirkan temanku."

"Hiro maksudmu? Jangan memikirkan sesuatu di luar kemampuanmu. Itu namanya sombong. Serahkan sisanya sama Allah dek. Biar Allah yang mengurus apa yang gak bisa diurus manusia okay?"

"Inggih mas."

"Mas sayang sama kamu. Jangan menyimpan semua sendiri. Kamu tahu, mas seneng pas bisa ketemu ibu dan kamu setelah mas kehilangan baba selamanya."

"Even though we are fighting a lot. Actually deep inside my heart. I really care for you."

"Mas ndak usah baperan deh. Tadi di bandara gak cukup ya?" Melihatnya sedikit risih. Sumpah, benar-benar tidak cocok dengan perawakan yang tinggi besar berkulit sawo matang begitu. Ada apa dengan semua orang hari ini.

"How rude!"

Dan sekarang apa. Dia akting gila lagi. Memegangi dadanya seperti terluka oleh panah dan berjalan terseok-seok kearah pintu. Beneran gemblung itu. Kakak siapa sih dia?

"Sugeng ndalu lil sis."

Teriaknya dari luar kamarku sambil menutup pintu kamarku dengan keras. Astaga. Ingatkan aku untuk tidak mau menerima ajakan dia pergi ke tempat umum.

Hard CommitmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang