21. Epilog

181K 8.8K 572
                                    

NATHAN

"Katya ...."

"N-Nathan?"

Gila. Ini gila. Kenapa dengan ngelihat mukanya pas lagi cirambay aja bikin gue berdoa mati-matian sama Tuhan biar gue kuat kagak meluk dia di sini?

Yah, ya Tuhan. Peluk aja cukup.

Gue langsung merengkuh badannya yang masih gitu-gitu aja. Dia dnggak berubah, dia masih Katya milik gue.

Yah mungkin ada yang berubah. Rambutnya lebih panjang, dan lebih terurus dibanding waktu SMA dulu. Terus, Katya belajar dandan ya? Bulu matanya lentik banget, dan tebal tentunya. Bibirnya udah enggak sepucat dulu, kali ini dilapis sama warna coral yang soft.

Katya ..., Katya .... Gimana gue enggak kangen sama lo.

Cewek itu masih aja mewek dalam pelukan gue. Klasik, tipikal Katya banget. Gue cuma bisa menghirup wangi rambutnya dalam-dalam, wangi yang bikin gue gila, kangen setengah mampus.

Bahkan setelah tiga tahun, wangi rambutnya tetap wangi greentea, dengan sedikit wangi manis yang entah apa dan juga wangi tanah basah saat hujan.

Gue jadi penasaran, sebenernya wangi ini wangi samponya atau emang wangi khas yang badannya keluarin? Tapi masa iya ada cewek wangi greentea, aneh-aneh aja.

Katya masih enggak berhenti nangis. Astaga kalau gini entar gue dikiranya apaan lagi menelantarkan Katya.

"Kat, heh, berhenti kek nangisnya, malu tuh diliatin orang!" kata gue. Bukannya berhenti, tangisan Katya malah makin kencang. Ya ampun kangen sih kangen tapi kan enggak gini juga.

"Kat, berenti nangis atau gue cium?"

Asyik kali aja kalau dia makin nangis gue dapet lampu ijo buat nyosor duluan. Katya langsung ngelepasin pelukannya, menatap gue kesel banget.

Yah. Enggak jadi deh.

Tunggu tunggu kok mukanya kesel banget gitu sih?

"Bangsatnya lo tuh ya Nath, enggak ilang-ilang!" serunya. Gue menatapnya enggak mengerti.

"Lha?"

"Lo pikir gue nangis gara gara apa, hah?"

"Emm ... Lo kangen gue kan?"

"Bukan. Suara lo jelek, kuping gue sakit dengernya."

Suka kampret yah. Untung gue sayang. Enggak tahu apa, mau nyanyi di depan dia aja perjuangannya tuh, kalo bukan buat Katya gue enggak mau ya.

"Kampret."

Katya ketawa, kemudian duduk di bangku terdekat.

Kami duduk berhadapan, dan cuma saling ngelihat. Ya ampun, berasa lagi syuting film bisu.

"Jadi, ehm, halo," kata gue. Tunggu kenapa jadi awkward gini sih?

Katya cuma geleng-geleng kepala, terus ketawa-ketawa jutek gitu. Ya ampun betapa gue kangen sama ini makhluk jahanam satu. "Enggak usah sok drama."

Inikah namanya cinta? Bahkan dimaki-maki aja gue rela.

"Jadi, lo apa kabar? Udah berhasil jadi tante-tante ber-high-heels dan pake rok span?" tanya gue.

Katya senyum, terus menaruh gelasnya di meja. "I'm on my way."

"Lo ke mana aja?" tanya gue sambil membuka-buka buku menu.

"Ada kok, di rumah," katanya.

"Oh ya? HP lo kenapa? Setau gue, gue ninggalin lo di Bandung loh bukan di Jakarta."

Katya terlihat gelagapan, tetapi berhasil mengontrol dirinya lagi. "Hape? Oh ... hape gue rusak," katanya, sambil nunjukkin hape keluaran terbaru yang bukan hapenya yang dulu.

"Terus lo harus ganti LINE juga?"

"Gue lupa pin-nya, Nath."

"Nomor HP juga?"

"Sinyal di sini kalo pake nomor lama gue jelek."

Ya ampun, Katya gue. Masih pinter aja ngeles.

Gue cuma bisa senyum tipis, tau bahwa sebenarnya dia sedang berusaha menghapus bayang-bayang gue dari hidupnya.

No wonder, gue udah menghilang terlalu lama. Tapi entah kenapa, selama kami jauh, gue enggak pernah takut kehilangan Katya.

Gue seolah tahu, bahwa Katya adalah milik gue. Dan gimana pun juga, sejauh apa pun dia pergi, dia akan selalu pulang.

Rumahnya adalah gue.

"Jadi," ujar gue. "Kenzo-Kenzo itu berhasil ngegantiin gue?"

Katya mlotot, keliatan kaget banget dan mukanya langsung merah. Tebak dari mana gue tau? Informan setia gue, Aldio Devano.

"Jadi lo di US belajar jadi mata-mata?" tanyanya.

Gue ngakak. "Ya enggak lah. Oh, iya, lo inget waktu enggak waktu ... ehm ... putusan?"

Mukanya mendadak gaenak. "P-putusan? Apaan, gue nampar lo?"

"Bukan. Lo bilang, kita harus mulai semuanya dari awal, iya kan?"

Katya diem, kayaknya masih nggak ngerti kemana arah pembicaraan kita.

"Gue tantang lo buat jadi pacar gue. Yang mutusin duluan kalah, dan harus dihukum jadi pembantu selama sebulan. Ingat?"

Katya ketawa. "Ingat. Dan gue enggak akan kalah kali ini, Nathan.

Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang