12

249K 10.4K 1.2K
                                    

"He was drowning, but nobody saw his struggles." -anonymous.

---

Dalam kesunyian malam yang mencekam, Nathan berlari di antara bangsal-bangsal rumah sakit, menuju satu-satunya orang yang dianggapnya berharga. Menuju orang yang benar-benar menghargai keberadaannya.

"Kakek jatuh di kamar mandi, Nath."

"Sekarang udah dibawa ke rumah sakit, kamu ke sini secepatnya."

Kelebatan memori beberapa menit lalu membuat dada Nathan semakin sesak rasanya. Dia sudah tidak peduli berlari kesetanan di rumah sakit dan tanpa sengaja menabrak beberapa orang yang berpapasan dengannya.

Nathan hanya terus berlari, ingin secepat mungkin sampai. Nathan tidak ingin kakeknya pergi. Nathan tidak ingin merasa sendirian lagi.

Kakinya akhirnya berhenti melangkah, tepat di depan ruangan ICU. Beberapa sanak saudaranya sudah berdiri di sana, menunggu, sama cemasnya dengan Nathan sendiri.

"Nath -"

"Gue mau masuk," ujar Nathan, memotong omongan Dio bahkan sebelum dia sempat berkata-kata.

"Sabar dulu, dokter masih meriksa Kakek. Kalau udah diizinin, gue janji lo bakal jadi orang pertama yang masuk ke ruangan ini," ujar Dio. Tangannya menepuk-nepuk bahu Nathan, berniat menabahkan hati adik sepupunya itu. Dio tahu, Nathan benar-benar sayang kepada kakeknya. Dio tahu, kakeknya adalah satu-satunya orang yang berharga di mata Nathan.

Pemuda itu diam, memandang lurus melewati jendela kecil di pintu, yang nyatanya tidak banyak memberikan informasi banyak.

"Nathan ... Mam-tante harus ngomong sama kamu," ujar Meisya.

Nathan berdecih. Tapi tak urung, dia mendekat kepada ibu tirinya itu, meski dengan wajah masam.

"Nathan, kamu harus mengerti. Kakek jatuh di kamar mandi. Dokter bilang, ada pendarahan di dalam dan kemungkinan sembuhnya sedikit. Kalaupun sembuh, Kakek-"

"Terus lo mau apa?" sahut Nathan sengit. "Apa? Lo mau Kakek gue mati?"

Meisya hanya bisa terdiam. "Nathan, bukan begitu maksud Mama. Tante cuma -"

"Oh, jelas itu maksud lo," sergah Nathan. "Mau lo ngomong apa pun, gue enggak peduli."

Nyatanya, nyaris separuh dirinya memercayai ucapan Meisya.

Ketakutan mulai menjalarinya, dan entah kenapa, kali ini malah membuatnya duduk diam seribu bahasa. Dio hanya melempar pandangan kasihan. Dia tahu, Nathan butuh Katya. Kalaupun tidak bisa menjaga Nathan dari berbuat hal yang tak diinginkan, setidaknya Katya pasti bisa meredam emosinya.

Jari-jari panjang Dio mulai mengetuk layar handphone, mencari-cari nama Katya di antara deretan nomor handphone yang disimpannya.

Ketemu.

Nada sambung terdengar, tapi sama sekali tidak ada jawaban dari Katya. Dio bahkan mengulangi usahanya sampai sepuluh kali berturut-turut, tetapi tidak menghasilkan apa pun. Katya sama sekali tidak menjawab panggilannya.

Tiba-tiba, dokter yang menangani kakeknya keluar dari ruangan, dan Nathan serta merta menemuinya. "Anda keluarganya?"

"Saya cucunya," jawab Nathan. Dokter itu menurunkan maskernya sampai batas dagu, lalu mendesah pelan.

"Maaf, Dik. Kami sudah berusaha, tapi kemungkinannya tipis sekali. Kita hanya bisa menunggu keajaiban sekarang," ujarnya.

Apa yang ditakutkan Nathan akhirnya terjadi.

Bad RomanceWhere stories live. Discover now