Hani membersihkan darah di hidungnya dengan tangannya, lalu dia menoleh padaku. Dia tampak sangat pucat, mungkin dia sedang sakit. "Aku menemukannya."

"I-itu milik Naya," kataku yang ingin segera pergi saat melihat hidungnya kembali meneteskan darah. "Boleh aku mengambilnya?"

Dia mengangguk.

Aku pun segera mengambil penghapus itu dan segera menjauh dari Hani. Aku ingin memberitahu yang lain kalau Hani sakit, tetapi aku menyadari sesuatu. Aku tidak mau orang tahu tentang asmaku. Mungkin Hani juga. Jadi, kupendam saja tentang apa yang aku lihat barusan.

"Naya, ini milikmu," kataku seraya menunjukkan penghapus di tanganku.

"Lihat, yang mencurinya justru sahabatmu sendiri," kata Dewi seraya melirik ke arahku.

"Aku menemukannya di lantai," kataku berbohong—aku sengaja tidak ingin mengatakan bahwa Hani yang menemukannya. Menurutku, Naya bisa marah ke Hani.

Naya menaruh kembali penghapus milik Ajeng. "Kali ini memang Ajeng tidak mencuri, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa sahabatmu itu suka mencuri," ujarnya yang kemudian kembali ke kursinya.

Hendra begitu girang. Dia berdiri di depan kelas pada hari Rabu. "Perangko terbaru yang berhasil ayahku dapatkan pasti akan membuat kalian terce—"

"Bisakah kau duduk dan berhenti bicara soal perangko?" kata Gilang. "Rasanya aku mulai muak."

"Biarkan dia," kata Danu. "Lagi pula, tidak ada yang mendengarnya. Kenapa harus dilarang?"

"Diam," ujar Gilang pada Danu yang tampak cengengesan.

"Aku punya beberapa mobil terparkir di rumah, koleksi beberapa jam tangan pun harganya akan membuat kalian tercengang. Tidak hanya itu, keluargaku punya empat rumah mewah dan liburanku selalu ke luar negeri. Aku bukan hanya bisa membeli perangkomu, Hendra. Kau dan seluruh keluargamu juga bisa aku beli," kata Gilang dengan sombongnya.

"Gilang, seberapa banyak harta yang ingin kau pamerkan. Sikap sombongmu tidak akan seberkelas Rema," kata Danu yang kemudian membuat semua anak di kelas menoleh ke arahku.

Gilang menoleh ke arahku. Aku memandangnya dengan tatapan biasa—mungkin orang lain akan mengatakan aku dingin jika menatap seperti ini. "Dikagumi semua laki-laki, tak ada perempuan yang tidak iri dengannya, dan seluruh guru memuji-mujinya," ujarnya. "Rema pantas untuk bersikap sombong." Aku mengerutkan dahi. Gilang hanya mengatakan itu? Memaklumi jika aku bersikap sombong?

"Tapi apa dia bisa menikmati apa yang aku nikmati?" tanya Gilang. "Menjadi orang terkaya di daerah ini?"

"Lalu, apa kamu bisa menyelesaikan sepuluh soal rumit matematika dalam waktu singkat, menghafal tabel kimia, atau menjelaskan teori-teori fisika di depan kelas tanpa melihat buku?" Naya yang tampaknya geram mulai menyahuti Gilang.

"Kau benar Naya. Aku tidak bisa," kata Gilang.

"Dengan apa yang dia miliki, bukannya dia bisa menikah dengan pria yang sangat kaya?" tanya Danu dengan suara getir.

"Benar. Bahkan dengan kepintarannya mungkin dia bisa membunuh orang tanpa ketahuan. Dia akan mencari pria tua yang kaya raya, menikahinya, lalu membunuhnya. Dengan begitu, dia akan kaya mendadak," ujar Gilang yang tertawa. "Namun, tetap saja aku akan lebih kaya."

Aku berdiri. "Gilang. Kau pikir, jika kau kaya itu menempatkanmu di atas yang lain? Padahal, apa yang kau lakukan hanya meminta-minta pada orang tuamu. Menyedihkan jika kau membanggakan itu," kataku.

Danu tertawa mendengar kata-kataku.

"Apa yang sedang kalian ributkan?" Sari baru masuk ke kelas. Dia melirik ke arahku. "Rema? Tidak ada topik lain, ya?"

Dedarah 「END」Where stories live. Discover now