"Aku bisa memilih untuk tidak ikut dengan kalian."

"Yah, semoga beruntung sendirian di tengah hutan dalam keadaan seperti itu." Dia berdiri, kemudian dengan raut muka dan suara yang penuh keterkejutan palsu, dia berkata, "Apa itu darah di kepalamu? Oh, demi bintang-bintang, semoga Malka menutupi baunya dari beruang lapar di sekitar sini."

"Baiklah, baiklah, aku ikut dengan kalian!"

Kulempar delikan tidak suka padanya sementara dia hanya menyeringai dan kembali mengulurkan tangan.

Aku menyambut uluran tangannya ragu-ragu. Dia menarikku sangat keras sampai membuatku menubruk tubuhnya dan membangkitkan kembali rasa sakitku yang semakin menjadi-jadi.

Aku mengerang, kembali jatuh terduduk karena kakiku sudah tak mampu menahan berat badan.

Si pirang berdecih, berbalik menatap pemilik suara kedua.

"Senior?"

Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan selanjutnya karena mereka bicara lewat bahasa yang tidak kupahami.

Mereka hanya saling melemparkan tatapan, melotot, mengedikkan bahu, mengerutkan dahi, diakhiri dengan dengusan keras si pirang.

Si pirang (aku harus bertanya siapa namanya) kembali menatapku, berjongkok dan secepat kedipan mata aku sudah berada dalam gendongannya. Oh. Oh. Ini memalukan.

Aku berontak. "Apa yang kaulakukan? Turunkan aku!"

Dia kembali menyumpah, matanya menatapku dengan berang.

"Kalau kau bisa berjalan aku tidak akan sudi repot-repot menggendongmu. Jadi diam saja dan jangan banyak bergerak, Bocah!"

Kami (kecuali aku yang masih dalam gendongan si pirang) mulai berjalan.

Memberengut tak suka, aku mencebik, "Aku bukan bocah."

Si pirang menatap lurus ke depan, mengikuti langkah seniornya yang sedang bersusah payah menyingkirkan dahan dan dedaunan.

"Di bawah tujuh belas tahun, berarti kau masih bocah."

Aku mengerjap, menatapnya dengan mata menyipit curiga. "Bagaimana kautahu usiaku? Kau penguntit?"

"Bisakah kau tidak banyak bertanya dan diam saja?!" bentaknya kesal.

Hei, aku yang seharusnya kesal. Untuk kali ini aku menurut, bukan mematuhi perintahnya tapi karena aku lebih menyayangi kepala dan seluruh tubuhku yang kian lama kian terasa menyakitkan.

Mencari pengalih perhatian, aku menyadari ada yang janggal dengan jalur yang kami lalui. Pemilik suara kedua menuntun kami untuk tidak berjalan di jalan setapak. Membuatnya menyibukkan diri dengan menyingkirkan apa pun itu yang menghalangi jalan.

Tak tahan dengan rasa penasaran, aku akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Kenapa kita tidak berjalan di jalan setapak?"

Agak aneh menyebut kata "kita" sementara yang sedari tadi berjalan hanya mereka berdua.

Si pirang melirikku sebentar sebelum kembali memfokuskan pandangan ke depan, merunduk melewati dahan yang terlalu besar untuk disingkirkan.

Merasa diabaikan, aku memukul dadanya pelan, membuatnya pura-pura meringis menahan sakit sembari melirikku tajam.

"Tidak sopan mengabaikan orang yang bertanya padamu," kataku.

"Tidak sopan memukul orang yang membantu menggendongmu."

Tidak ada yang lebih menyebalkan selain dilempari kata-katamu sendiri.

"Aku penasaran."

"Di mana kau bisa menemukan jalan setapak di tengah hutan belantara seperti ini?"

Loyth: The Lost ErzsebetWhere stories live. Discover now