2. Pria Pirang Menyebalkan.

23.4K 2.1K 230
                                    

"Berisik!"

Aku mengerjap beberapa kali, silau karena cahaya yang menusuk mata. Kembali bangkit dari adegan terjengkang tidak indah, aku menyipitkan mata dan melihat wajah yang menjadi sumber malapetaka keterjengkanganku (apakah ini sebuah kata? Dan baiklah, aku memang berlebihan menggambarkannya).

Pemilik dari suara menyebalkan itu ternyata seorang pria yang tampaknya lebih tua sekitar tiga tahunan dariku. Dia punya wajah yang sama menyebalkan dengan suaranya. Rambut pirangnya menutupi sebagian dahi, sementara bagian dahinya yang lain terekspos bebas. Sepasang iris merahnya menatap garang padaku, dan aku mendadak merasa takut.

"K-kau manusia?" ucapku tergagap, sesaat agak ragu melihatnya berjengit terkejut.

"Anggap saja begitu." Tatapannya berubah bingung, kedua alisnya saling bertaut dan aku bertanya-tanya akan setampan apa jika ia tersenyum.

"Berkedip."

Sial.

Dia menyeringai. "Aku tahu aku ini tampan, tapi jangan menyiksa matamu sampai lupa berkedip seperti itu."

Aku menyumpah pelan, mengalihkan mataku pada sosok yang berdiri di belakangnya. Pemilik suara kedua. Dia tersenyum ramah, garis tegas di wajahnya membuatku mengira-kira usianya sekitar tiga puluh tahun atau lebih. Tipikal pria tenang dan berwibawa.

"Selamat datang, Nona," ucapnya penuh penghormatan.

Aku mengerjap, merasa bingung.

"Kau juga bisa menganggapku manusia." Dia kembali tersenyum, membuatku semakin bingung.

Dalam keadaan normal aku mungkin akan berteriak, "Pikirmu aku peduli?!" padanya, tapi sayangnya, tenagaku sudah nyaris tidak tersisa untuk mengatakan kalimat tidak penting begitu.

"Siapa kalian? Kenapa ... kalian berkata seolah-olah kalian bukan manusia? Apa kalian salah satu dari mereka? Kalian di sini untuk menangkapku?" cecarku, mengabaikan rasa sakit yang sedari tadi menyiksa seluruh tubuhku.

"Aku takut keingintahuan berlebih dapat mencelakaimu," ujar si pemilik suara kedua, sama sekali tidak menjawab rasa penasaranku.

"Itu tidak menjelaskan apa pun."

"Aku memang tidak berniat menjelaskan apa pun." Tak disangka, sikap kelewat tenangnya malah membuatku berdecak kesal.

"Mungkin, tidak di sini," tambahnya dengan senyum yang belum juga hilang.

"Aku tidak mengerti."

"Tidak ada yang perlu kau mengerti. Kau hanya harus tahu dan paham pada tugasmu."

Kerutan di antara alisku semakin dalam sampai aku meringis karena rasa sakit yang ditimbulkannya. "Tugas? Sebenarnya apa yang sedang kaubicarakan?"

"Senior, kepalanya baru saja menghantam tanah dengan keras. Kau akan membuatnya semakin pusing dengan mengatakan kalimat ambigu seperti itu."

Pemilik suara kedua mengangguk. "Kau benar. Kalau begitu mari kita bicarakan di tempat yang lebih aman."

Tatapannya kembali padaku. "Tapi sebelumnya, aku rasa kau butuh istirahat dan...," dia mengendus beberapa kali, "membersihkan diri."

"Ya, terlalu dekat dengan mereka membuat baumu sama busuknya dengan mereka." Si pirang menimpali.

Ketika si pirang berjongkok dan tangannya terulur di depan wajahku, aku hanya menatapnya curiga sebelum kemudian bertanya, "Bagaimana aku tahu kalian tidak berniat mencelakaiku?"

"Apa kami terlihat seperti orang jahat?" Dia balik bertanya.

"Itu tidak menjamin apa pun."

"Keadaanmu sekarang tidak memungkinkanmu untuk meminta jaminan apa pun."

Loyth: The Lost ErzsebetWhere stories live. Discover now