Nana & Keluarga (a)

3.5K 243 17
                                    

Pagi ini Nana berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Selepas shalat subuh, ia langsung membereskan barang-barang yang hendak dibawanya.

Nana memang tidak akan langsung menuju kampusnya. Tapi ia akan mampir terlebih dahulu ke rumah Tantri.

Beberapa minggu lagi Tantri akan menikah. Kemarin Tantri memintanya untuk datang ke rumah dan melihat segala persiapan yang telah disusun oleh Tantri.

Awalnya Nana menolak, karena lagi-lagi, dengan menyesal, Nana harus mementingkan pekerjaannya.

Meski kecewa, Tanti berusaha memaklumi.

Dan dengan sumringah, Aniqo berusul agar Nana memenuhi permintaan Tantri pagi hari saja.

Dan hari ini ia berniat untuk memenuhi permintaan sahabatnya itu.

Tantri keluar dari kamarnya sudah lengkap menggunakan jilbabnya yang lebar. Menutupi hingga separuh pahanya.

"Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?"

Nana menghentikan langkahnya yang sudah hendak mencapai pintu keluar, dan berbalik.

Nana tersenyum, matanya berbinar-binar senang saat mendapati bahwa Ibunyalah yang mengajaknya bicara.

"Mamah.."

"Mau ke mana kamu? Ini masih jam enam pagi, Nana.." Meskipun suara Ibunya kini sudah tidak seramah biasanya, bahkan terkesan dingin, Nana berusaha mengabaikannya.

Rasa bahagianya karena Ibunya mau mengajaknya bicara begitu membuncah. Hingga ia tidak ingin memperdulikan hal remeh temeh tentang nada suara yang terkesan dingin itu.

Menghampiri Ibunya dengan senyum lebar, Nana menjawab, "Mau ke rumah teman dulu, Mah, sebelum ke kampus."

Andai Ibunya tahu, betapa Nana begitu merindukan hangat pelukannya.

Ah, rasanya Nana hampir-hampir menangis bahagia ketika dapat menatap Ibunya dari jarak sedekat ini.

Biasanya, Ibunya itu selalu menghindar jika Nana sudah akan menghampirinya.

"Kamu nggak sarapan dulu?"

Satu lagi perhatian yang didapatkan Nana dari pertanyaan Ibunya.

Entah mimpi apa ia semalam.

Dalam hati Nana berucap syukur karena doa-doanya selama ini akhirnya terkabul.

"Nana.." suaranya tercekat, ia sudah benar-benar hampir menangis.

Ya Allah.. Dua tahun ia dimusuhi keluarganya. Dan sekarang Ibunya mengajaknya berbicara dan memperhatikannya.

Menghapus setetes air mata yang membasahi wajahnya, Nana menggeleng, "Nana sarapan di kampus saja, Mah.."

Ibunya menatap Nana dengan dahi berkerut.

Putri sulungnya menangis.

Ingin rasanya ia dapat bersikap seperti dahulu, saat Nana masih menjadi kebanggaan keluarga. Putrinya yang cantik jelita itu, meskipun selalu membantah dan seenaknya sendiri, setidaknya masih memiliki kesamaan dengan keluarganya.

Tapi kemudian putri sulungnya itu mengecewakannya. Mencoreng muka orang tuanya dengan noda yang tak terhapuskan.

Semua anggota keluarga besar menyalahkan ia dan suaminya atas pendirian Nana yang goyah.

Entah apa yang ada di dalam fikiran putri sulungnya itu..

Sejenak raut wajah Ibu Nana berubah. Ia pun memendam kesedihannya atas diri Nana yang telah begitu mengecewakannya.

Tapi ia pun seorang Ibu.

Ia tidak pernah mampu sekejam itu pada putrinya.

Selalu ada kalanya, rasa rindu mengusik dirinya.

Dan ia hanya mampu berdiri dini hari di ambang pintu kamar Nana sembari menatap putrinya yang tertidur pulas.

"Jangan pulang malam-malam, Na.. Mamah minta satu jam sebelum makan malam kamu sudah di rumah." Ujar Ibunya kemudian setelah ia berhasil mengusai emosinya.

Dengan terburu-buru Nana mengangguk. Air mata sudah tak mampu dibendungnya lagi.

"Baik, Mah.. Nana janji."

Nana meraih tangan Ibunya dengan ragu. Khawatir mendapat penolakan.

Setelah sekian lama, ini kali pertama baginya dalam menyentuh kulit Ibunya.

Ibunya tercenung saat Nana meraih tangannya. Mencium punggung tangannya dengan lembut.

"Nana pamit, Mah.."

Tanpa berkata apa-apa, ia mengangguk canggung pada Nana.

Dipandanginya punggung Nana yang menjauh. Meninggalkan halaman rumah dengan motor bebeknya.

Lalu menatap telapak tangannya, tempat di mana Nana mendaratkan ciumannya.

Air mata menetes dari sudut-sudut matanya yang kini mulai keriput dimakan usia.

Nana.. Nana-nya kini begitu sopan.

Dan rapuh..

Ya Tuhan, apa yang telah dilakukannya pada putrinya itu?

Mengabaikannya selama bertahun-tahun, dan kini putrinya begitu menghormatinya.

Apa yang akan dimakan anaknya itu hari ini?

Nana-nya kini terlihat kurus dan wajahnya pun semakin tirus.

Apa selama ini ia kurang makan?

Pakaiannya, ya Tuhan.. Ia bahkan hanya memakai baju yang itu-itu saja. Apa putrinya itu tidak dapat membeli pakaian yang layak?

Pakaian yang layak?

Ibunya tergugu dalam isak tangis. Putri sulungnya tidak menerima uang sepeser pun dari Ayahnya.

"Mamah, kenapa?"

Melissa, gadis berusia 17 tahun itu menghampiri Ibunya yang terduduk di depan pintu sembari memegangi dadanya.

"Jantung Mamah sakit?" tanyanya lagi dengan raut cemas.

Ibunya memandang Melissa. Wajahnya basah dengan air mata. Ia merasa bersalah. Rasa bersalah itu menghimpit dadanya. Membuatnya sesak untuk bernafas.

"Lissa.." Panggilnya.

"Iya, Mah.. Lissa di sini." Lissa memeluk ibunya dengan sayang.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang