Ten

67 2 0
                                    

~Kayla pov

Satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menangis, memang benar penyesalan selalu terjadi diakhir perbuatan.   

Jujur, aku sangat-sangat menyesal membiarkan cinta pertamaku berasama dengan orang lain, ya walaupun orang itu adalah sahabat baikku, tapi tetap saja rasa sakit itu terus menghujam hatiku. Sakit, sangat sakit saat ini. Seperti ditikam ribuan belati yang baru saja di asah.

Ingin rasanya aku menghampiri Hanny dan menamparnya. Oke, tapi itu bukan gayaku. Gayaku adalah menyendiri dan menangis sepuasnya. Aku butuh seseorang saat ini, ya aku sangat-sangat membutuhkan seseorang. Aku butuh tempat untuk bersandar, walaupun hanya sebentar. Tapi itu yang aku butuhkan saat ini.

Aku berusaha menahan tangisku, supaya tangisku tak pecah saat ini. Karena, ini masih jam istirahat. Tahan Kayla, tahan. Tapi, aku tak bisa menahan lebih lama lagi, dan akhirnya tangisku pecah berbarengan dengan bunyi bel berakhirnya istirahat kurasa aku harus membolos pelajaran hari ini, aku tak mungkin masuk kedalam kelas dengan perasaan sedang kacau seperti ini.

Aku melangkahkan kakiku menuju rooftop sekolah ini. Jika sedang seperti ini aku biasa menghabiskan waktuku disebuah rooftop, baik di sekolah maupun dirumah.

Aku berjalan menuju pinggiran rooftop, berniat untuk berteriak supaya perasaanku lebih baik.

"Kenapa mencintai harus sesakit ini?" takada jawaban, hanya semilir angin menerpa rambutku.

"Kenapa disaat gue udah ketemu dan mengetahui siapa cinta pertama gue, sahabat gue juga suka sama orang itu" tangisku kembali pecah.

Perasaanku sedang sangat kacau saat ini. Aku butuh kamu Ken, aku butuh kamu.

"Kay" suara seseorang menghentikan tangisku, suara yang tak asing bagi kuping ini.

"Seperti suara Ken. Tidak Kay, itu hanya perasaanmu saja, Ken tak mungkin berada disini, pasti Ken sedang bermesraan saat ini dengan Hanny"

"Kay" suara itu kembali terdengar dengan jelas dan kali ini sebuah tangan memegang pundakku.

Aku menoleh dan medapati Ken sedang tersenyum menatapku, sontak aku meneluk Ken dengan sangat erat. Menumpakah segala kesedihanku kepada Ken, aku benar-benar butuh penopang sebelum aku tumbang.

Berduaan dengan Ken mengingatkanku pada malam itu. Malam setelah Ken mengajakku berkencan. Malam dimana Ken mengajakku untuk menjadi kekasihnya, dan membuat perasaanku melambung tinggi, tapi aku menolaknya.

"Kenapa?" tanyanya setelah terdiam beberapa saat. "Apa karena aku terlalu naif dengan perasaanku sendiri?"

Sesaat kami cuma berpandangan, wajah Ken tampak muram saat melihat wajahku, apakah aku sekacau itu? Perlahan, Ken meraih tanganku, menarikku mendekat padanya. Jantungku berdebar-debar saat merasakan hangat tubuh Ken disekelilingku. Ada aroma lembut pada dirinya, bukan sesuatu yang wangi seperti parfum, tapi sangat menenangkan. Dan, aku sangat menyukainnya.

"Just give me a chance, okay?" pinta Ken. "Gue tahu, mungkin saat ini lo belum suka sama gue, tapi gue pasti bisa ngubah perasaan lo ke gue, Kay"

Tangisku kembali pecah, "Bukan itu masalahnya, Ken." Aku menghela napas disela tangisku, "gue... Hanny suka banget sama lo, Ken"

"Tapi yang gue suka itu lo, Kay. Bukan dia," sela Ken sambil memegang kedua tanganku.

Aku ingin sekali menuruti keinginan hatiku, untuk sekali ini saja. Aku ingin menerima perasaan Ken, menjadi pacarnya, dan hidup bahagia untuk selama-lamanya. Tapi, apakah ini yang dinamakan bahagia untuk selamanya? Bersikap egois dan membuat sahabatku sedih, mengancurkan persahabatan kami?

The problem with perfectWhere stories live. Discover now