PROLOG

11.4K 491 25
                                    

Terkadang, apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Namun, itulah takdir. Tak bisa di duga, dan akan datang dengan sendirinya. Bagaimana pun kau menyangkal, hatimu..










Allegra Stewart. Gadis belia yang kini sedang berlari tergesa-gesa menyusuri trotoar yang dipenuhi orang-orang berlalu lalang. Matanya berpendar melihat remang malam dilengkapi kilauan cahaya dari lampu-lampu mobil yang melaju di jalanan aspal, disertai decitan-decitan klakson yang begitu memekakkan telinga. Langkah kakinya tertatih ketika tak sengaja berdesakkan dengan orang-orang yang kebingungan melihat tingkahnya yang terlalu terburu-buru. Merasakan keadaan yang begitu tak biasa, membuat Allegra merasa sedikit panik. Kakinya kian melaju kedepan menghadapi angin malam yang begitu mencekam, mencari suatu tempat yang sedaritadi ia cari. Halte Bus.

"Holy shit!" gumamnya kesal begitu merasakan rintik-rintik air hujan mulai menyerbu sekujur tubuhnya. Langkahnya terhenti sesaat untuk merogoh sesuatu dibalik saku jeansnya.

Kekesalannya kian bertambah ketika mengetahui ponsel-nya mati kehabisan batrai. Hujan semakin deras, sementara Halte Bus yang ia cari sedaritadi belum juga ditemukan. Sial! Sial! Sial! Tak henti-hentinya ia mengumpat kata-kata itu didalam batinnya. Hatinya bergejolak tajam karena kesal dan panik. Apalagi mengingat sosok yang ia khawatirkan menghilang tanpa kabar, dan karena handphone nya yang mati, ia jadi tak bisa memastikan keadaan sosok itu, ibunya. Allegra segera bergegas dibawah guyuran hujan kembali berjalan kedepan untuk menemukan Halte Bus.
Tak lama, ia menemukan Halte Bus yang susah payah ia cari sedaritadi. Untuk menemukannya pun cukup sulit karena keadaan Halte Bus yang satu-satunya ada di jalanan ini terlihat gelap. Ditambah hujan yang semakin deras membuat Allegra harus memicingkan matanya sedetail mungkin. Allegra segera menghampiri Halte itu dan duduk disana. Menjatuhkan tubuhnya yang basah kuyup terkena hujan.

Manik mata hijaunya berpendar melihat sekeliling, keadaan mulai sepi, hanya ada kilauan-kilauan lampu mobil tengah berlalu di jalanan yang menjadi tanda kehidupan di sekitar sini. Mata Allegra terpaku pada pohon tua yang sedikit membukuk disamping Halte yang ia tempati. Dedaunannya terlihat berkilau basah dan air-air hujan begitu deras tertembus darisana, angin malam seketika membesar saat hujan semakin bergemuruh ramai, membuat Allegra merasakan hawa dingin yang begitu menakutkan. Arloji di tangannya sudah menunjukan pukul delapan tepat. Hujan belum juga reda dan waktu terus berjalan. Allegra makin gelisah karena Bus tak kunjung datang. Otaknya mulai berpikir keras mencari akal cemerlang agar bisa terbebas dari situasi bajingan yang menyialkan ini.

Buntu, itulah yang terjadi di penghujung pemikirannya saat ini. Ia benar-benar tak bisa berpikir keras ditengah hujan dengan ditemani angin malam dan pohon menyeramkan yang berdiri disampingnya. Ah, apalagi mengingat pohon menakutkan itu malah membuat rasa paranoid akan suatu yang berhubungan dengan supranatural makin bertambah. Bagaimana jika ada makhluk astral yang menerkam lehernya atau boneka Anabelle yang tiba-tiba tergeletak manis di sampingnya?! Allegra sudah membayangkan kematian jika hal itu terjadi. Ia tak karuan, benar-benar bingung.
Tubuh Allegra hampir terhuyung kebelakang jika saja ia tak memiliki pertahanan yang kuat saat melihat sosok hitam sedang berjalan tenang melewatinya sembari membawa payung yang begitu besar. Hal yang pertama Allegra perhatikan adalah kaki, bola matanya menurun untuk memastikan sosok dihadapannya kini berpijak di bumi atau tidak. Jantungnya yang berdegup kencang mulai mereda ketika tahu bahwa sosok itu memiliki kaki. Dan tanpa ia sadari, sosok itu kian menjauh dari pandangannya.

"Hei!" Allegra berusaha memekik sekeras mungkin memanggil makhluk itu--yang pasti seorang manusia, ditengah hujan deras. Tubuhnya yang menggigil semakin bergetar berharap-harap cemas agar sosok itu bisa menghampirinya. Ia butuh pertolongan. Mengingat jalanan yang sepi, ditengah hujan? Siapa lagi yang bisa menolongnya selain makhluk itu?

Allegra segera bangkit dari duduknya sembari mengulum senyum saat sosok itu berbalik dan berjalan kearahnya. Dengan payung besar menakutkan yang masih setia di tangan sosok itu. Matanya terpicing tajam saat sosok itu kian mendekat, jantungnya sedikit berdegup takut. Ternyata sosok itu sedikit menyeramkan. Bertubuh tinggi, dengan pakaian serba hitam. Dibawah guyuran hujan, dengan payung besar, dan wajahnya tidak terlihat. Allegra mendesah kebingungan dan hanya bisa berharap semoga pria ini tak memiliki niatan buruk padanya.
Sosok itu kian mendekat, Allegra sedikit berjalan mundur karenanya. Langkah kaki sosok itu terlampau besar membuat Allegra terkaget mengetahui sosok itu menghampirinya begitu cepat. Dan akhirnya, pria itu sampai dihadapannya. Tangan pria itu bergerak untuk menyimpan payung raksasanya. Kepalanya yang tertutup oleh payung, kini bisa terlihat.
Manik matanya bertemu dengan sepasang mata berwarna hijau lembut dibawah remang kegelapan. Hijau? Warna yang sama dengan bola matanya. Allegra sedikit tertegun menatap keindahan mata itu, membuatnya merasakan gelenyar aneh yang bergumul ria di sekitar perutnya. Allegra tak menyangka, manik mata berwarna hijau ternyata begitu indah, teduh dan menenangkan. Membuatnya menjadi lupa akan keadaan sekitar dan kesialan yang ia alami hari ini.

"Kau orang baru." Allegra tersentak seketika saat mendengar suara otoriter yang keluar dari mulut pria itu.

"Darimana kau tahu? Ah, maukah kau menolongku?" Ucap Allegra berusaha untuk terlihat setegar mungkin dihadapan pria yang ternyata tipikal dingin sebeku salju itu.

"Karena kau orang baru, aku jadi kasihan. Apa yang kau inginkan?"

"Aku disini untuk menjemput Ibuku, aku ingin memastikan keadaannya. Tapi ponselku mati. Boleh aku pinjam ponselmu?"

Pria itu tak menjawab apapun namun langsung memberikan ponsel yang ada di dalam saku jaketnya. Allegra mengambil ponsel itu dengan cepat. Ia sempat terkagum-kagum kala melihat ponsel pria ini yang termasuk ponsel mahal. Tangannya mulai menyentuh ponsel itu perlahan, menekan beberapa digit nomor yang sudah ia afal diluar kepala. Setelah itu, ia mendekatkan ponsel pria itu ke telinganya.

"Hallo? Mom? Ini aku Allegra."

"Ah ya sweetie? Mom menelefon mu hampir dua puluh lima kali. Ponselmu tidak aktif. Apa kau sudah menunggu di Halte? Bagaimana keadaanmu? Disini hujan lebat, dan Mom ditugaskan untuk lembur hari ini."

Allegra mendesah kecewa. Batinya merutuk; Suprise! Kejutan menyebalkan!

"Oh Alle, maafkan Mom. Kita batal untuk pergi ke Starbucks hari ini."

"Tidak masalah Mom, kita bisa pergi besok. Kalau begitu, aku akan pulang. Bye Mom."

Sambungan telepon terputus seketika. Allegra mengulum bibirnya perlahan menahan kekecewaan. Bukan karena ia batal pergi ke Starbucks bersama ibunya, ia tak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja, ia kecewa karena hari ini. Alam semesta seperti tak berpihak padanya. Tuhan serasa tidak menyayanginya. Terdiam buntu di Halte kecil dengan keadaan basah kuyup ditemani seorang pria yang tak dikenal. Kesialan yang bertubu-tubi. Ditempat baru.

"Kemarikan ponselku." Hati Allegra kian membeku sebeku suhu tubuhnya saat ini. Mendengar suara otoriter menakutkan menelusup ke lubang telinganya.

"Terimakasih." Ucap Allegra tergugup sembari mengembalikan ponsel pria itu dengan segera. Kemudian ia berbalik menuju kursi dengan langkah gontai. Tubuhnya seakan malas untuk pulang. Bahkan ia tak tahu akan bisa kembali ke apartemennya atau tidak.

Matanya kembali berpendar kesekeliling. Melihat rintik hujan yang kini mulai mereda, namun masih cukup besar. Tangannya kembali bergerak untuk memperlihatkan arloji yang terpasang disana. Setengah jam ia menunggu, Bus sama sekali tidak datang. Dan tak di duga, pria yang berbaik hati meminjamkan ponselnya untuk Allegra, berjalan menghampiri kursi dan duduk disampingnya. Membuat Allegra kembali tersentak untuk kesekian kalinya. Pria itu hanya diam tak peduli, hanya duduk diam dengan tangan terlipat di depan dada. Manik mata Allegra menatap pria itu dalam diam. Terlihat rambut yang sedikit ikal berwarna coklat yang terlihat lebih panjang untuk ukuran rambut seorang pria, hidung pria itu terukir sempurna, matanya semakin indah jika dilihat dari samping seperti ini, dan ukiran wajahnya terlihat begitu sempurna di bawah remangnya malam. Allegra sempat terpesona dan memperhatikan wajah pria itu dalam-dalam. Pria dingin berwajah tampan. Begitu maskulin. Sosok pria seperti inilah yang patut didambakan baginya.

"Allegra? Nama yang bagus."






***








To be continued









SOMETIMES [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now