3

2.3K 139 13
                                    

"Aku akan melamarmu," begitu kata Abiel saat mereka bertemu di sebuah kafe yang terletak di sudut kota Jakarta. Saat itu Abiel baru saja menyelesaikan pekerjaannya sebagai pelayan di sebuah restoran, tepat pukul delapan malam mereka bertemu, saling duduk berhadapan.

Angin tersenyum mendengar hal itu, tak bisa diukur seberapa bahagianya ia mendengar kalimat tersebut keluar dari bibir lelaki itu.

"Aku mau." Untuk beberapa saat ia masih merasa amat bahagia.

"Jika saja... ayahmu mengizinkanku, aku berjanji akan membahagiakanmu."

Kemudian, setelah dibawa terbang, Angin kembali dihempaskan saat mendengar Abiel menyebut ayahnya. Jujur saja, Angin sangat ragu kalau ayah akan merestui hubungan mereka.

Dari kecil Angin selalu dididik untuk menjadi wanita lembut namun tangguh, cerdas dan tentu saja semua itu dilakukan oleh ayah demi mensejahterakan hidup Angin. Ayah selalu bercerita kalau ia menginginkan menantu yang lebih dari Angin, tentu saja lebih cerdas dan memiliki penghasilan yang tinggi dan hal tersebut jauh dari seseorang yang bernama Abiel. Ditambah umur mereka yang cukup terpaut jauh--lima tahun.

Abiel mungkin saja sudah tamat sarjana S1 ia juga sedang melanjutkan S2, sedang menyusun tesis. Sebuah keajaiban memang seorang seperti Abiel bisa melanjutkan studinya sampa jenjang seperti itu namun ia tak pernah mendapatkan apa-apa. Ia tak memiliki pekerjaan tetap, hanya sebagai pelayan di kafe. Tapi herannya, ia selalu menikmati setiap detik dalam hidupnya. Katanya 'life goes on'. Padahal kalimat itu dia kutip dari sebuh iklan di televisi.

"Aku bersedia, Abiel. Meski ayah tak akan merestui kita."

Abiel menggeleng, membungkam bibir Angin dengan sebuah jarinya yang menempel di bibir merah itu. "Aku tak akan mungkin melakukan hal itu, aku tak akan mau menjadikan wanita yang kucintai sebagai pendurhaka, Angin. Tapi kupastikan kau satu hal, aku akan melamarmu. Walau rasanya sangat tidak mungkin."

"Tapi--"

"Tak ada tapi, Angin. Kau percaya pada benang merah yang mengikat kedua insan manusia? Jika kita berjodoh, aku dan kau tak akan pergi kemana - mana. Sejauh apapun aku atau kau pergi, pada akhirnya takdir akan mempertemukan kembali. Percayalah hal itu. Kumohon."

"Kalau begitu, coba yakini ayahku seberapa menakjubkan kau di mataku. Ah, mungkin di mata ayah."

Namun umpan tak termakan, harapan tak sesuai dengan kenyataan, sang Ayah tak akan pernah menerima seorang Abiel menjadi menantunya. Umur mereka terpaut jauh dan status sosial menjadi penghalang lainnya. Sang Ayah justru mengusir lelaki itu setelah Abiel mengutarakan maksud kedatangannya datang ke rumah Angin. Sedangkan Angin hanya bisa terpaku, menatap bagaimana lelaki yang ia cintai dimaki-maki di hadapannya. Rasanya seperti dipukul beribu-ribu godam.

"Beraninya kau datang ke rumahku dan melamar anakku? Kubelikan kau kaca dan lihatlah dirimu tak mempunyai pekerjaan sama sekali, jika kau sebut seorang pelayan adalah sebuah pekerjaan, maka enyahlah. Kau tak pantas. Mau kau apakan nanti anakku? Tunggu kau jadi miliyarder baru kau melamar putriku!"

Remuk redam hati Abiel, selalu saja ada rintangan atas cinta tulusnya pada Angin. Dan sejak saat itu Abiel menghilang, tak pernah lagi Angin melihatnya, dan hancurlah perasaan Angin ke titik yang terdalam. Saat itu, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis, walau Abiel memintanya untuk tidak menangis.

"Jangan menangis, aku akan kembali. Suatu hari akan kuturuti permintaan ayahmu." Itu kata-kata terakhirnya dan pada saat itu juga adalah kali terakhirnya Angin melihat wajah Abiel.

Jika dibilang rindu, Angin akan sangat amat rindu pada lelaki itu.

Kemana kau pergi, Abiel?

TBC.

Vomments pls?


Mentari di RinjaniWhere stories live. Discover now