Aku senang jika melihatnya bahagia. "Itu bagus. Semoga dia benar-benar serius dengan ucapannya, dan semoga saja dia bisa selalu membuatmu bahagia," ucapku sambil mengangkat kedua bahu samar. Entah mengapa nadaku terdengar aneh saat aku mengatakan kalimat tadi.

Senyum Bianca perlahan memudarkan senyumnya, menatapku iba. Oh ayolah, jangan memberiku tatapan itu. "Apa kau sedang teringat Franzel?" tanya begitu saja.

Aku bingung harus menjawab apa. Namun, aku hanya melemparkan senyum hambar dan menggeleng samar. "Tidak," ucapku sambil memirik bunga mawar putih yang masih kupegang, kenyataannya aku memang sedang memikirkannya.

"Aku tahu kalian sedang ada masalah," kata Bianca santai.

"Apa dia yang memberitahumu?" tanyaku spontan.

Bianca menggeleng tegas. "Tidak. Franzel sudah pergi sejak dua jam yang lalu ke Dubai, dia menitip pesan pada kami untuk mengawasimu hingga kau sampai kembali ke New York dengan selamat."

"APA!?" pekikku kaget setengah mati. Dia pergi begitu saja meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Aku semakin merasa benar-benar tak dihargai.

Bianca mengusap bahuku dan tersenyum. "Dia hanya tak ingin membangunkanmu, Hope. Semalam dia tidak tidur, mungkin karena menjagamu." Dijaga? Memangnya aku penjahat? Bianca pasti sedang bercanda atau paling tidak berusaha membela nama baik kakaknya di depanku.

Aku hanya memutar bola mata. "Itu tidak mungkin, karena saat aku selesai mandi tadi malam aku bahkan tak melihatnya di sini," kenangku kembali.

Bianca terkekeh. "Astaga, Hope. Selama dia sibuk mengajariku mengerjakan PR Biologi di ruang tengah. Aku memaksanya,"ucap Bianca lalu sejenak meniup sebagian poni yang nyaris menghalangi pengelihatannya.

"Kau tahu, Hope? Semalam dia begitu cepat ingin kembali ke kamar dengan alasan ingin melihatmu, itu sama sekali bukan Franzel, dia tak pernah seaneh itu..." Raut wajah Bianca berubah menjadi seperti guru Fisika yang kesulitan dalam memecahkan rumus baru. "...dari situ aku langsung menebak bahwa ada yang tak beres dari kalian berdua," ucapnya sambil menghembuskan nafas panjang. Seolah dia baru saja menyelesaikan pidato kelulusan.

Aku mengigit bibir bawahku samar, masih ragu dengan pengakuan Bianca. Aku masih takut untuk mempercayai lebih. Jadi aku mencoba untuk bersikap biasa saja. "Itu mungkin hanya pemikiranmu. Itu belum membuktikan pemikiranmu tentang dia menjagaku semalaman."Aku terkekeh mendengar apa yang barusan kuucapkan. Oh, mengapa aku jadi memikirkan kebenaran akan hal itu?

Sejenak Bianca terdiam. Bisa kulihat dia kembali berfikir, perlahan kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, meliti setiap sudut ruangan seolah mencari-cari sesuatu, dan akhirnya matanya berhenti tepat pada satu arah, sebuah meja kecil yang ada dekat sofa kamar. Akupun mengekori pandangan Bianca dan perlahan mengernyit.

"Apa masih perlu bukti? Aku melihatnya sendiri membuat kopi di dapur, Franzel pasti ingin terjaga." Bianca kini hanya bisa menatapku yang tengah memandangi dua gelas kopi yang ada di atas meja.

Dua gelas? Bahkan Franzel minum dua gelas?

Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain diam dan membasahi bibir bawahku. Tak ada argumen lagi yang ingin kuutarakan, lebih tepatnya aku sudah kehilangan alasan melawan apa yang telah dikatakan Bianca. Selalu seperti ini, setiap kali aku ingin marah dengan Franzel, selalu ada saja kejadian susulan yang membuat otakku mempertimbangkan ulang keputusan marahku.

Franzel, sebenarnya apa yang telah kau lakukan padaku?

****

Another HopeWhere stories live. Discover now