2 (Explosion)

22.7K 1.5K 57
                                    

 Ada beberapa hal yang membuatku tak pernah bisa membenci Franzel sepenuhnya, di antaranya adalah setiap kali kami bertengkar, dia selalu pergi namun dengan meninggalkan beberapa bekas yang tatkala membuat hatiku yang tadinya marah justru jadi bertanya-tanya tentang siapa yang sebenarnya berhak disalahkan dalam setiap pertengkaran.

Seperti pagi ini, saat aku membuka mata karena sinar cahaya matahari dari ufuk timur menyentuh kelopak mataku, aku langsung dikejutkan dengan beberapa hal. Yang pertama, saat aku mendapati diriku sudah terbaring diatas kasur dengan selimut yang membungkus tubuhku dengan baik, padahal seingatku semalam aku memilih untuk tidur di sofa kamar. Kemudian yang kedua, saat aku melirik ke kanan dan mendapati sebuket bunga mawar putih menghasi sisi kosong kasur.Aku mendesah, perlahan bangun dari tidurku. Tanpa perlu menebak-nebak lagi, aku tahu semua ini ulah Franzel.

Apa yang ada dipikirannya kali ini?

Aku menyukai bunga mawar, dan aku tak tahu dari mana Franzel tahu tentang itu. Jadi, bukan salahku jika tanganku tak bisa untuk tidak meraih buket bunga mawar itu dan tersenyum mengagumi keindahannya. Jari-jariku menyentuh lembut ujung kelopaknya. Secarik kertas berawarna coklat terang terselip di tengah-tengah.

Perlahan aku membuka kertas itu, dan mulai membaca rentetan tulisan tangan yang begitu kukenali tersusun diatasnya.

Permohonan maafku mungkin takkan mengurai rasa sakit hatimu, namun kuharap senyummu saat melihat mawar ini bisa membuatmu sedikit melupakan apa yang telah terjadi.

-JF

Benar, kan? Franzel itu memang brengsek. Sekarang dia telah berhasil membuatku bingung sendiri dengan sikapnya. Dari caranya menyusun kalimat saja sudah cukup membebani pikiranku. Kalimatnya semu, tak jelas, apakah dia benar-benar menyesal atau dia hanya ingin aku melupakan kejadian semalam.

Aku mengigit bibir bawah untuk beberapa detik, sebelum akhirnya aku mendesah kasar dan menyibakkan selimut. Baru saja ingin menurunkan kaki ke karpet tiba-tiba pintuku terbuka lebar.

"Selamat pagi, Hopeeeee!!!" ternyata pagi ini aku disambut oleh Bianca yang tampaknya sudah sangat segar. Aku hanya melemparkan senyum padanya saat dia berjalan menghampiriku dengan tergesa-gesa.

"Selamat pagi, Bianca," balasku ringan karena aku masih baru bangun tidur.

Gadis yang duduk di sampingku ini memutar tubuhnya hingga menghadapku, wajahnya begitu bersinar terang melebihi sinar matahari, dari caranya menatapku, aku yakin ada yang ingin dia ceritakan pagi ini.

"Maaf aku menganggumu pagi sekali, tapi kau harus tahu bahwa semalam aku dan Louis benar-benar berciuman," ucapnya sambil mengenang. Dia benar-benar baju beranjak dewasa. Gairah itu jelas terpancar dari dua manik matanya.

Aku tersenyum lalu mengerutkan kening. "Jadi kau tetap menjadikannya taruhan?" tanyaku berpura-pura penasaran, siapa yang peduli tentang percintaan gadis yang baru beranjak dewasa, lagipula aku sudah melewati semuanya dan menurutku itu biasa saja, bahkan seingatku dulu saat aku berciuman dengan Drummer sekolah, aku tidak seriang ini.

Sial, apakah barusan telah terkesan seperti sudah merasa tua? Ya Hope, kau memang sudah tua karena sudah menikah. Batinku mengigau sendiri.

Gelengan kepala Binca mengejutkanku. "Tidak. Aku sepakat untuk tidak menjadikannya taruhan. Kami resmi berpacaran. Dia ternyata sudah mengagumiku sejak lama." Bianca memengangi dadanya dan matanya menatap langit-langit kamar seolah ia tak bisa menahan kebahagiaan yang menyesaki dadanya.

Another HopeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt