BAB ENAM

1.7K 216 31
                                    

(Roni Pov)

MATANYA BERKACA-KACA WAJAHNYA MEMERAH. ENTAH menahan marah atau sedih aku tak tahu. Bodohnya aku, padahal aku tak berniat sama sekali mengeluarkan kata terakhir tadi. Mulut sialan! Kalau saja aku bisa, sudah kusunat kau!

Elena meninju dadaku, tinjunya pelan. Tapi menyakitkan. Lukaku memang sakit. Tapi hatiku lebih sakit lagi. Apalagi saat melihat setetes embun yang mengalir dari sudut matanya.

Rasanya seperti seribu pedang menusuk jantungku.

"Kenapa sih mulutmu itu tak pernah jujur?" Ucapnya

Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Bagiku, jujur itu sesulit mendaki gunung Everest dengan dua jari.

"Jujur memang sulit Roni, tapi sulit bukan berarti tidak bisa kan?"

Perkataannya barusan seperti menghantam lubuk hatiku yang paling dalam. Dia benar, selama ini aku yang sok menderita sendirian.

"Kau tau? Bukan hanya kau yang bersedih disini. Aku juga. Aku tak tau siapa Zikri itu, lihat wajahnya saja tidak pernah. Tapi aku tau, kau mencintainya kan?"

Aku mendongak dan menatap Elena yang tersenyum. Gadis itu
menangis. Tapi dia tersenyum.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya. Lidahku serasa kelu saat ingin mengatakan hal yang selama sebulan ini terus kutahan.

"Roni, kau dengar tidak?"

Aku menyentuh bibirnya dengan telunjukku. Bibirnya bagaikan helaian sutra, halus dan lembut. Rasanya aku ingin sekali mengecup bibirnya yang lembut ini.

"Aku menyukaimu tau!" Seruku tanpa tedeng aling-aling. Sudah cukup, aku tak mau menyembunyikannya lagi.

Elena membelalak, wajahnya memerah.

"Tidak mungkin! Kau menyukai Zikri, bahkan kau menciumnya di atas jembatan!"

"Itu hanya untuk penyamaran! Saat itu kami mengikuti seseorang. Tunggu, kau tahu dari mana?"

Elena nyengir lebar "Budi yang menceritakannya padaku"

"Dasar si mata empat itu!!  Ingatkan aku untuk mematahkan lehernya saat sampai di rumah nanti"

Elena tertawa "jangan! Nanti dia menjomblo terus"

Aku hanya bisa tersenyum, ini senyum tulusku yang pertama sejak dua tahun yang lalu.

"Elena, sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kulakukan"

Elena berhenti tertawa dan menatapku "apa itu?"

Aku mendekati wajahnya dan....

÷÷÷÷÷

Pintu ruangan menjeblak kedalam, bagaikan di tendang raksasa atau semacamnya, aku tak tau. Yang jelas, karena itu aku tak bisa melakukan hal yang selama ini sangat ingin kulakukan dengan Elena.

Budi berdiri di ambang pintu. Dasar setan jomblo!! Seandainya aku tidak luka-luka begini, sudah kucekik lehernya!!

Budi menyorot kami berdua yang masih berpelukan ini dengan senternya. Seringaian terukir di wajahnya.

"Wah, kelihatannya aku sudah keduluan nih" ucap Budi dengan santainya

Aku ikut menyeringai "sayang sekali culun, aku duluan"

Elena merengut "aku bukan barang"

"Maaf Elena" bisikku

"Oh iya, siapa ya yang sebulan lalu bilang kalau Elena itu cuma cewek dekil dan gila?" Tanya Budi sambil mengangkat kedua alisnya dengan semangat.

"Kau cuma sendiri?" Tanyaku mencoba mengalihkan perhatian

Budi menggeleng "semuanya ikut, mereka sedang mensterilkan ruangan yang lain"

"Kau tau dari mana kalau kami ada disini?" Tanya Elena

"Dengan memakai sinyal GPS" sahutku. Budi yang ingin menjelaskan hanya bisa merengut.

"Sialan, curi start dia!!" Seru Budi, kesal.

Aku menyeringai, tanganku merangkul pinggang Elena dan menarik gadis itu kepelukanku

"Kamu telat, dia sudah jadi milikku"

Budi mengangkat sebelah alisnya "sejak kapan? Apa buktinya coba?"

"Sejak tadi" sahutku sambil berdiri dan mengangkat Elena. Gadis itu memekik protes

"Bukannya tubuhmu terluka?" Tanyanya

"Lebih baik aku kesakitan daripada aku membiarkan lelaki lain menggendongmu"
Sahutku

Bisa kudengar sumpah serapahan Budi dari balik punggungku. Tapi aku tak peduli. Kali ini aku mendapat kesempatan kedua. Dan aku tak akan menyia-nyiakannya.

÷÷÷÷÷

Rinka dan yang lain menatap kami berdua dengan tatapan yang....kaget mungkin?

Wajah Elena sudah memerah sepenuhnya. Walaupun begitu, dia tersenyum senang.

Rinka mendekati kami dan ikut tersenyum

"Syukurlah kalian selamat. Tak kusangka, hanya karena aku ingin membuat roti kalian jadi begini"

Aku menggeleng "tidak masalah, Elena tak terluka"

"Pantas saja bajumu sobek-sobek" sahut Budi

Aku mendengus "baru nyadar nih anak"

Eko langsung menyela "ayo pulang! Aku lapar!"

Aku tertawa mendengar ucapan Eko hingga terdengar suara sirene polisi dari luar. Kami semua berpandangan

"Kalian manggil polisi?" Tanyaku

Ren menggeleng "tidak kok"

"Sebaiknya kita kabur dari sini" ucap Budi

Aku mengangguk, sambil membawa Elena aku berlari mengikuti yang lain menuju pintu keluar di belakang.

÷÷÷÷÷

Aku sedang berbaring saat Elena masuk ke kamarku. Aku menatap wajahnya yang tampak terkejut.

"Hei, ayo masuk. Aku tak menggigit" ucapku sambil mendekatinya dan menarik tangannya.

Elena menundukkan kepala dan hanya diam saat aku menarik lengannya. Kami duduk berhadapan di atas kasur.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Lalu aku menatap Elena hingga gadis itu ikut menatapku.

Ya Tuhan, matanya seperti bersinar. Bibirnya yang merah muda dan terlihat mulus itu benar-benar menggoda. Sial, aku mulai gila sekarang.

"Elena....seperti janjiku. Aku akan menceritakan semuanya. Oke, tidak semua. Karena separuh ceritaku sudah diceritakan oleh si setan jomblo itu"

Tiba-tiba Budi berteriak dari luar "Hei!! Aku mendengarmu bodoh!!"

"Aku tau tuan jomblo!!" Balasku hingga Elena terkikik
"Oke, sampai dimana kita tadi?"

Elena tersenyum "sampai setan jomblo?"

Aku tertawa saat mendengar sumpah serapahan Budi dari luar kamar

"Kau pasti tau kan kalau Zikri membisikkan sesuatu padaku?"

Elena mengangguk. Bisa kulihat matanya yang penasaran.

"Dia menyuruhku untuk mencari teman masa kecilnya yang menghilang tujuh tahun yang lalu, nama temannya itu adalah Elena Grimm"

÷÷÷÷÷

TO BE CONTINUED....




My Wild Partner (END)Where stories live. Discover now