Motherly lecture. Gentle tapi firm.

"Maaf, Bu," bisik Bian.

"Gak usah minta maaf ke Ibu. Minta maaf ke diri kamu sendiri. Kesehatan itu aset paling berharga." Ibu Hakan mengambil tangan Bian—warm, comforting. "Ibu tau kamu pasti lagi banyak tekanan. Kerja, hidup, semuanya. Tapi... kamu gak sendirian, Nak. Hakan peduli sama kamu. Ibu juga."

Bian merasakan tenggorokan tercekat.

"Ibu... Ibu kenal aku, Bu?" tanya Bian pelan.

"Belum kenal sebelum tadi malam. Tapi Hakan cerita sedikit di perjalanan ke sini. Dia bilang kamu teman baiknya. Dan dari cara dia khawatir tadi malam..." Ibu Hakan tersenyum lembut. "Ibu bisa liat, kamu orang penting buat dia."

Guilt menghantam Bian.

"Aku... aku gak baik sama dia, Bu. Aku... aku nyakitin dia."

"Ibu gak tau detail-nya. Tapi..." Ibu Hakan squeeze tangan Bian gently. "Hakan itu anak baik. Dia gak akan marah atau dendam. Kalau kamu minta maaf dengan tulus, dia pasti memaafkan."

Tepat saat itu, pintu terbuka.

Hakan masuk—membawa plastic bag berisi makanan, mata langsung tertuju pada Bian.

"Bian! Kamu udah bangun!" Relief washing over wajahnya. Dia langsung mendekat. "Gimana? Masih sakit?"

"...lebih baik," jawab Bian pelan.

"Syukurlah." Hakan menaruh plastic bag di meja, kemudian duduk di sisi lain bed. "Dokter bilang kamu harus stay semalam untuk observasi. Dan besok harus rest, gak boleh kerja dulu."

"Tapi... tapi project aku deadline—"

"Bian." Hakan's voice firm. "Fuck the project. Your health matters more."

"Tapi klien—"

"I'll handle it." Hakan sudah mengeluarkan hape. "Kasih aku contact klien-nya. Aku jelasin situasi kamu. Kalau dia reasonable person, dia bakal ngerti."

"Hakan, kamu gak perlu—"

"I want to." Hakan menatap Bian dengan serius. "Please. Let me help."

Bian menatap Hakan—mata yang earnest, concern, caring.

Exactly like the character in the story.

Always helping. Always sacrificing.

"...Reza. Contact-nya di hape aku," kata Bian akhirnya, defeated.

Hakan nodded, mengambil hape Bian dari meja (Ibu Hakan yang bawa dari kos).

Sementara Hakan sibuk dengan hape, Ibu Hakan berdiri.

"Ibu ke luar sebentar, beli sesuatu. Kalian ngobrol dulu." Dia tersenyum—knowing smile—dan keluar, menutup pintu.

Leaving them alone.

Silence sebentar.

Hakan masih scrolling hape Bian, mencari contact Reza.

"Hakan..." Bian mulai, suara pelan.

"Hmm?"

"...aku minta maaf."

Hakan berhenti scrolling, mendongak.

"Untuk ghosting kamu. Untuk being cold. Untuk... untuk everything." Bian's voice cracking. "Kamu... kamu gak deserve diperlakuin kayak gitu. Kamu cuma baik sama aku dan aku... aku ngejauhin kamu."

Hakan menatapnya lama.

Kemudian dia menaruh hape, bergerak lebih dekat.

"Bian... I'm not gonna lie. It hurt. Tiba-tiba kamu jadi distant, gak mau ngobrol, pushing me away. Aku bingung. Aku mikir aku salah sesuatu."

Guilt squeezing Bian's chest.

"Tapi..." Hakan melanjutkan, "Aku juga ngerti. Sometimes people need space. Sometimes orang struggle dengan hal yang mereka gak bisa share. And that's okay."

"Kamu terlalu baik," bisik Bian.

"Or maybe aku cuma... aku cuma peduli sama kamu. A lot." Hakan tersenyum—sad but genuine. "And seeing you like this... almost collapsing alone di kos... Bian, that scared the shit out of me."

"Maaf..."

"Stop apologizing." Hakan mengambil tangan Bian—gentle, warm. "Just... just promise me. Next time you're struggling, you'll reach out. To me, atau ke siapa aja. Please. Jangan sendirian lagi."

Bian menatap tangan mereka yang bertaut.

Hakan's hand bigger, warmer, rougher from work.

Comforting.

"...oke. Aku janji."

"Good." Hakan squeezed tangan Bian sekali, kemudian reluctantly melepas untuk kembali mengurus hape. "Sekarang, aku contact klien kamu ini—Reza—dan explain situation."

Nama itu.

Reza.

Suddenly, semua realisasi Bian dari minggu kemarin kembali.

Cerita. Plot. Reza sebagai character.

Dan sekarang... sekarang dia ada di rumah sakit, dengan Hakan dan ibu Hakan.

Scene 5: meeting ibu Hakan.

Tetep terjadi.

Tidak exactly seperti di cerita (supposed to be casual, di rumah Hakan, dengan makanan dan teh).

Tapi tetep terjadi.

Universe adapted the script.

Dan Bian...

Bian menyadari dengan horror yang cold:

He can't escape this.

No matter what he does.

No matter how hard he tries to avoid.

The plot will happen.

One way or another.

💀

Btw guys gua lagi ujian... :v ekekek

 :v ekekek

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Error ScriptWhere stories live. Discover now