Bian berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Angin malam Bandung yang dingin nusuk kulit, tapi dia gak peduli.
Capek. Semuanya terlalu berat.
Di bawah sana, lampu kendaraan sesekali lewat. Jam segini emang lagi sepi. Lebih sepi dari biasanya.
Atau mungkin dunia emang selalu sepi buat orang yang udah gak pengen ada di dalamnya.
Kakinya melangkah naik ke pagar bawah. Tangannya mencengkram pagar atas—dingin, metal, solid. Ironis. Satu-satunya hal yang terasa nyata sekarang adalah benda yang bakal dia tinggalin.
Dia lihat ke bawah lagi. Aspal. Jalan raya. Gak terlalu tinggi—mungkin 7-8 meter. Cukup.
"Maaf..." bisiknya entah ke siapa.
Ortu? Tuhan? Diri sendiri yang dulu masih punya harapan?
Tangannya bersiap melepas pegangan.
Napas terakhir.
Satu.
Dua.
"EH! JANGAN!"
Suara keras dengan sedikit slur memecah keheningan.
Bian tersentak—reflex—hampir kehilangan grip.
Langkah cepat tapi gontai. Bau alkohol menyengat bahkan dari jarak beberapa meter.
"JANGAN LOMPAT!"
Sebelum Bian bisa proses apa-apa, tangan besar menangkap pergelangan tangannya—KUAT—menariknya turun dengan paksa.
Bian jatuh ke lantai beton JPO. Lututnya terasa nyeri, telapak tangannya lecet.
"JANGAN—"
GREP.
Tapi cowok yang baru aja narik dia malah—
"ANJIR—!"
—KEHILANGAN KESEIMBANGAN.
Momentum narik Bian tadi plus alkohol dalam sistemnya bikin cowok itu kepleset—kakinya kesandung di pagar bawah yang sama dimana Bian berdiri tadi.
Badannya condong ke depan. Ke arah yang sama. Ke bawah.
"SIAL SIAL SIAL—"
Time slows down.
Bian—yang sejak tadi pengen mati—ngeliat cowok asing ini—yang baru aja nyelamatin dia—sekarang malah HAMPIR JATUH SENDIRI.
Mata mereka ketemu.
Pure panic di mata cowok itu.
"AKU GAK MAU MATI!" dia teriak, suaranya naik satu oktaf. "TOLOOONG!"
Instinct menendang masuk.
Bian meluncur maju—grabbing kemeja cowok itu dengan dua tangan—pulling with everything he has.
Mereka berdua jatuh ke belakang.
BRAK.
Landing keras di lantai beton JPO.
Cowok itu di atas Bian. Berat. Solid. Bau alkohol—bir campur something stronger—menyeruak.
Napas mereka berdua ngos-ngosan. Keras. Panik masih terasa di udara.
Hening.
Cuma suara napas mereka dan angin Bandung yang lewat.
"...Kamu berat banget," Bian akhirnya ngomong, suaranya muffled karena ketimpa badan orang yang besar dan solid.
"...Sorry."
Cowok itu roll off—awkward, masih agak goyang—terus berbaring di samping Bian.
Mereka berdua natap langit malam Bandung. Ada beberapa bintang yang kelihatan di antara awan tipis. Lampu kota bikin langit agak orange-ish di bagian bawah.
ANDA SEDANG MEMBACA
Error Script
CerpenBian, seorang desainer grafis yang sedang dihimpit kegagalan dan utang, berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Saat ia hendak mengakhiri segalanya, seorang pria mabuk bernama Hakan menyelamatkannya-hampir membuat dirinya sendiri tewas. Pert...
