Hakan mengangkat Bian dengan hati-hati—satu lengan di bawah lutut, satu menyangga punggung—bridal style.

"Aku bawa kamu ke RS—"

"Tidak... mahal... aku gak punya uang untuk—" protes Bian lemah.

"I don't fucking care." Hakan's voice firm, gak ada ruang untuk argument. "Kesehatan kamu lebih penting dari uang."

Suara lain dari pintu—seorang wanita paruh baya masuk, wajah penuh kekhawatiran, membawa tas.

"Ya Allah, anak ini..." Ibu Hakan langsung mendekat, tangan terulur menyentuh dahi Bian—checking demam. "Hakan, cepat bawa ke rumah sakit!"

"Iya, Bu. Ayo."

Hakan membawa Bian keluar, turun tangga dengan hati-hati despite urgency.

Ibu Hakan mengikuti, membawa tas Bian dan hape yang tertinggal.

Di luar, motor Hakan terparkir—tapi clearly gak bisa bawa tiga orang.

"Ibu pesan Grab. Kita ke RS pake Grab," kata Ibu Hakan decisive, sudah membuka app di hape-nya.

"Oke. Yang terdekat—RS Advent atau Borromeus." Hakan masih holding Bian, gak mau lepas.

Dalam beberapa menit, Grab datang.

Mereka masuk—Hakan di belakang dengan Bian di pelukannya, Ibu Hakan di sebelah, giving directions ke driver.

Bian's consciousness fading in and out.

Dia mendengar suara-suara samar:

"...tekanan darah rendah... dehidrasi..."

"...kapan terakhir makan?..."

"...infus dulu..."

Sensasi dingin di lengan—jarum infus masuk.

"Bian, kamu dengar aku?" Suara Hakan, dekat.

"...hmm..."

"You're in the hospital. You're safe. Just rest."

Tangan hangat memegang tangannya.

Dan Bian... Bian let go.

Let unconsciousness take over.

🩶


Bian membuka mata perlahan—cahaya putih menyilaukan.

Ceiling yang unfamiliar. Bau antiseptik. Suara monitor beeping pelan.

Rumah sakit.

Dia mencoba bergerak—tubuhnya terasa berat, lemas.

"Jangan gerak dulu."

Suara lembut di sebelahnya.

Bian menoleh—Ibu Hakan duduk di kursi samping bed, tersenyum lembut.

"Kamu sudah sadar. Syukurlah," katanya, relief jelas di wajahnya.

"...Bu..." suara Bian serak.

"Jangan bicara dulu. Kamu masih lemah." Ibu Hakan menuangkan air ke gelas, membantu Bian minum dengan sedotan. "Pelan-pelan."

Air dingin itu terasa seperti berkah.

"Hakan mana?" tanya Bian setelah minum.

"Dia keluar sebentar, ngurusin administrasi sama beli makanan buat kamu. Sebentar lagi balik." Ibu Hakan menaruh gelas, kemudian menatap Bian dengan tatapan yang... concern, tapi juga slightly stern. "Nak, dokter bilang kamu dehidrasi parah dan magh akut karena stress dan gak makan. Kamu... kamu harus jaga kesehatan. Masih muda begini kok sudah kayak gini."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Error ScriptWhere stories live. Discover now