Click.

"Bian?" Suara Hakan—surprised, cautious. "Bian, kamu... okay? It's late—"

"Hakan..." Suara Bian keluar lemah, bergetar. "Aku... aku butuh... bantuan..."

Tone berubah instant—alarm, panic. "What?! Bian, what's wrong?!"

"Magh... magh aku kambuh... sakit... aku gak bisa..." Napas Bian pendek-pendek.

"Shit—okay, okay, where are you?! Kos?!"

"...iya..."

"I'm coming—" Hakan berhenti sebentar. Background noise terdengar—suara ramai, announcements. "Fuck, aku lagi di terminal jemput ibu. Tapi aku langsung kesana sekarang. Stay on the line, okay? Don't hang up!"

Bian mendengar Hakan bergerak cepat—langkah berlari, suara berbicara cepat pada seseorang (ibunya?).

"Bian, kamu masih disana?" Hakan's voice kembali, napas terengah dari berlari.

"...masih..." bisik Bian.

"Good. Good, stay with me. Aku dalam perjalanan. Tell me—kamu makan hari ini?"

"...lupa..."

"Bian..." Frustasi dan kekhawatiran bercampur di suara Hakan. "Berapa hari kamu gak makan properly?"

"...entah... dua? Tiga?"

"Jesus Christ, Bian..." Suara Hakan crack. Sound of motor engine starting terdengar. "Okay. Aku bawa ibu juga, we're coming together. ETA 20 menit dari terminal. Just... just hold on, okay? Don't pass out."

"...oke..."

"Keep talking to me. Don't close your eyes. What are you working on yang bikin kamu sampe kayak gini?"

"...project... deadline besok..."

"Fuck the deadline. Kamu lebih penting." Hakan's voice firm. "You hear me? You're more important."

Bian tidak menjawab—pain too overwhelming.

"Bian?! Bian, answer me!"

"...masih disini..." bisik Bian.

"Okay. Okay, good. I'm driving as fast as I can. Hold on."

Bian mendengar sound of motor—engine revving, wind rushing. Hakan benar-benar speeding.

Background, suara perempuan terdengar samar—ibunya, asking questions dengan nada khawatir.

Twenty minutes felt like eternity.

Bian slumped di lantai, hape di telinga, mendengar Hakan's voice terus berbicara—keeping him conscious, keeping him anchored.

"Almost there. Lima menit lagi."

"...oke..."

"Stay with me, Bian. Please."

Akhirnya—sound of motor berhenti di luar. Langkah kaki cepat di tangga.

"Bian! Aku di depan pintu!"

Bian mencoba bergerak, tapi badannya tidak merespon.

"...gak bisa buka pintu..." suaranya hampir tidak terdengar.

"Okay, aku masuk sekarang."

BANG.

Pintu terbuka paksa—Hakan pasti kick atau force lock-nya.

Dan suddenly, Hakan ada di sana—mata lebar dengan panic, napas terengah, rambut berantakan dari kecepatan berkendara.

"Oh my God, Bian..." Hakan langsung berlutut di samping Bian, tangan langsung menyentuh wajah Bian—checking. "Kamu pucat sekali. Okay, I got you."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Error ScriptWhere stories live. Discover now