Error Script

Bab 5

Lupa makan. Lupa tidur properly.

Survive on coffee dan instant noodles.

Badan-nya protesting—pusing, perut perih, tangan gemetar.

Tapi dia ignore semuanya.

"Aku harus selesaiin ini."

🩶

Malam sebelum deadline.

Jam 11 malam.

Bian masih di depan laptop, mencoba finalize design.

Kepalanya pusing berat. Mata perih. Perutnya... perutnya terasa seperti ditusuk-tusuk dari dalam.

"Sedikit lagi," bisiknya, mencoba push through pain.

Tapi tiba-tiba—

Pain menusuk tajam di perut.

Bian terdiam, napas tertahan, tangan mencengkeram meja.

"Ah... sial..."

Magh-nya.

Dia punya history magh—triggered oleh stress dan pola makan yang kacau.

Dan sekarang...

Pain intensified. Seperti pisau berputar di dalam perut.

Dia merasakan mual naik ke tenggorokan. Keringat dingin mulai membasahi dahi.

"Tidak... tidak sekarang..."

Dia mencoba berdiri untuk mengambil obat magh di laci, tapi kakinya lemas—hampir roboh.

Dia berpegangan pada meja, napas terengah-engah.

Beberapa langkah ke laci terasa seperti marathon.

Akhirnya sampai, membuka laci dengan tangan gemetar.

Kosong.

Obat magh-nya habis.

"Fuck..." bisiknya, panic mulai masuk.

Pain getting worse—waves of sharp, stabbing sensation yang bikin dia gak bisa berdiri.

Dia merosot ke lantai, punggung bersandar pada lemari, peluh bercucuran.

Hape.

Dia butuh hape.

Merangkak kembali ke meja—setiap gerakan menyiksa—akhirnya meraih hape yang tergeletak di samping laptop.

Siapa yang harus dia hubungi?

Tidak ada keluarga di Bandung.

Teman-teman lama semua sudah hilang kontak.

Kontak list-nya hampir kosong.

Kecuali...

Satu nama di recent contacts.

Hakan.

Bian menatap nama itu dengan vision yang mulai blur.

Dia sudah ghosting Hakan. Sudah menyakitinya. Sudah push him away dengan keras.

Dia tidak punya hak untuk reach out sekarang.

Tapi...

Dia tidak punya pilihan lain.

Dengan tangan gemetar dan air mata mulai keluar—partly dari pain, partly dari desperation—dia tap nama Hakan.

Call.

Ring.

"Please... please angkat..."

Ring.

Ring.