Dia rindu Hakan.

Rindu ketawa mereka. Rindu obrolan random. Rindu feeling less alone.

Tapi dia tidak bisa.

Dia tidak boleh.

Ini untuk melindungi Hakan.

Bian duduk di kamar kosnya, menatap layar laptop kosong—project design yang supposed to dia kerjakan tapi tidak ada progress.

Motivasi-nya hilang lagi.

Setelah beberapa hari breakthrough kemarin—ketika dia successfully finish project setelah hang out dengan Hakan—sekarang dia stuck lagi.

Seperti tanpa Hakan... warna hilang dari hidupnya lagi.

"Pathetic," gumam Bian pada diri sendiri. "Kamu terlalu dependent sama orang yang baru kamu kenal seminggu."

Tapi rasanya bukan cuma seminggu.

Rasanya seperti... lebih lama. Lebih deep.

Hape-nya bergetar.

Bian mengambilnya, expecting pesan dari Hakan lagi.

Tapi bukan.

Unknown Number:

"Hai, nama saya Reza. Dapat nomor kamu dari teman. Kamu graphic designer kan? Aku butuh bantuan untuk project branding. Bisa ketemuan untuk discuss?"

Bian menatap pesan itu.

Reza.

Namanya... Reza.

Darah Bian membeku.

Tidak.

Tidak mungkin.

Dengan tangan gemetar, dia membuka file cerita di laptop, scroll cepat ke bagian dimana Reza muncul.

"Minggu kelima. Aira bertemu seorang pria di coffee shop—Reza, 28 tahun, entrepreneur muda. Charming. Confident. Dia approach Aira dengan excuse bisnis—butuh designer untuk startup-nya."

Oh God.

Oh God no.

"Ini... ini tidak mungkin," bisik Bian.

Dia refuse Hakan. Dia avoid plot.

Tapi universe... universe literally throwing next character at him.

Reza.

The guy yang supposed to jadi love interest Aira.

The guy yang akan manipulate, hurt, dan akhirnya abandon her.

The catalyst untuk Hakan's suffering.

"Tidak," bisik Bian keras. "Aku tidak akan... aku tidak akan ikutan ini."

Dia delete pesan itu tanpa balas.

Block nomor.

"Aku tidak akan bertemu dia. Aku tidak akan jatuh cinta sama dia. Plot tidak akan lanjut."

Tapi di dalam dadanya, fear tumbuh.

Karena kalau universe bisa bring Reza ke hidupnya...

Maka universe bisa force plot jalan dengan cara apapun.

Dan Bian... Bian mungkin tidak punya control sebanyak yang dia pikir.


Hari kelima avoiding Hakan.

Bian di warung langganannya—Warung Ibu Siti—makan siang sendirian.

Dia deliberately datang di waktu unusual (jam 3 sore) untuk avoid kemungkinan bertemu Hakan.

Tapi clearly, universe punya rencana lain.

"Bian?"

Bian mendongak dari mangkok mie ayam-nya.

Hakan berdiri di depan meja, tas kamera di bahu, ekspresinya... concerned. Worried.

"Oh. Hai," sapa Bian kaku.

"Boleh duduk?" tanya Hakan.

Bian ingin bilang tidak. Ingin cari excuse untuk leave.

Tapi mulutnya bergerak sendiri. "...boleh."

Hakan duduk di seberangnya, tidak pesan apa-apa. Hanya menatap Bian dengan tatapan yang membuat Bian uncomfortable.

Tidak marah. Tidak accusatory.

Hanya... sad. Concerned.

"Bian..." Hakan mulai pelan. "Kamu... kamu okay?"

"Aku baik-baik saja."

"Seriously?" Hakan's voice gentle. "Karena... karena kamu jadi distant. Sejak beberapa hari lalu. Dan aku... aku khawatir."

Bian menatap piringnya, tidak berani menatap mata Hakan.

"Aku cuma sibuk."

"Bian, please." Hakan lebih earnest sekarang. "If I did something wrong, just tell me. Aku bisa minta maaf, aku bisa fix it. Tapi jangan... jangan shut me out like this."

Guilt menghantam Bian seperti truk.

"Kamu tidak salah apa-apa," bisik Bian.

"Then why?" Hakan's voice crack sedikit. "Why kamu suddenly avoiding me? We were good. We were... I thought we were friends."

Friends.

Kata itu terasa seperti pisau.

Karena di cerita, Hakan akan jadi more than friends.

Dan Bian trying to prevent that.

"Kita... kita terlalu cepat," kata Bian akhirnya, masih tidak menatap Hakan. "Kita baru kenal. Aku... aku tidak biasa deket sama orang dengan cepat seperti ini."

"Okay," Hakan nodding slowly. "Okay, I understand. Kalau kamu butuh space, aku bisa kasih space. Tapi... tapi at least let me know kamu okay. Please."

Bian akhirnya menatap Hakan.

Big mistake.

Karena Hakan menatapnya dengan mata yang so genuine, so caring, so... hurt.

Dan Bian realized—dia already hurting Hakan.

Dengan trying to avoid heartbreak, dia creating different kind of pain.

"I'm okay," kata Bian pelan. "Just... dealing dengan stuff."

"Kalau kamu mau ngobrol—"

"Aku tidak mau ngobrol."

Keras. Cold.

Hakan flinched.

Bian langsung menyesal tapi already too late. Words already out.

"...okay," kata Hakan quietly, standing up. "Okay. Aku... aku tidak akan ganggu lagi."

Dia pause, seperti mau bilang sesuatu lagi, tapi decide against it.

"Take care, Bian."

Dan dia pergi.

Bian menatap punggung Hakan menjauh, sesuatu di dadanya terasa remuk.

"This is for the best," bisiknya pada dirinya sendiri.

Tapi kenapa rasanya seperti dia baru saja make huge mistake?


Error ScriptWhere stories live. Discover now