Dia mulai foto landscape—focus, serious, completely in his element.
Bian duduk di bebatuan deket situ, watching Hakan work.
Ada sesuatu yang... mesmerizing tentang Hakan saat dia fokus. Cara matanya menyipit sedikit saat frame shot. Cara tangannya adjust settings dengan practiced ease. Cara dia sesekali mundur atau jongkok untuk dapet angle berbeda.
He's good at this. Passionate.
"Bian!" Hakan tiba-tiba nengok. "Mau aku fotoin?"
"...aku?"
"Iya! Kamu udah di spot yang lighting-nya perfect. Come on, just candid. Gak usah pose kaku."
"Aku gak suka difoto—"
"Please? Trust me, I'll make you look good." Hakan grinned, puppy eyes mode. "Just a few shots. Buat portfolio aku juga boleh kan?"
Bian sighed. "...fine."
"YES! Oke, kamu stay disitu aja. Natural. Lihat ke arah kota, atau lihat pohon, atau... apapun yang bikin kamu comfortable."
Bian menurutinya meskipun canggung—duduk di batu, gak tau harus ngapain dengan tangan atau wajahnya.
"Relax, Bian. Gak usah tegang." Hakan's voice soft, reassuring. "Just breathe. Think about something calming."
Bian took a breath, tried to relax, looked out toward the city view.
CLICK. CLICK. CLICK.
"Perfect. Oke, now look at me."
Bian turned—met Hakan's eyes through the camera.
Something passed between them. Brief. Unnameable.
CLICK.
"Got it." Hakan lowered camera, smiling. "You're very photogenic, you know that?"
"...gak mungkin."
"Mau liat?" Hakan berjalan mendekat, menunjukkan layar LCDnya.
Bian looked—and was surprised.
The photos were... actually good. He looked less tired than usual. The lighting made him look softer, almost peaceful. The candid ones where he looked at the city had this... contemplative vibe.
"See? Told you." Hakan bumped shoulder against him gently. "Kamu good-looking kok. Cuma kamu gak sadar aja."
Bian felt heat creep to his face. "...whatever."
Hakan laughed—warm, genuine.
They spent the next hour just hanging out—Hakan ambil foto, Bian sitting nearby, occasionally chatting about random things.
Comfortable silence punctuated by easy conversation
Sekitar jam 1 siang, mereka turun dari Dago Pakar dan menuju warung mie ayam yang Hakan mention.
Mie Ayam Pak Kumis—warung kecil di pinggir jalan Dago Atas, looks unassuming tapi ramai.
"Trust me, ini mie ayam terenak se-Bandung," Hakan bilang sambil parkir motor.
Mereka masuk, pesan mie ayam bakso + es teh manis, duduk di meja plastik.
"Jadi," Hakan mulai sambil nunggu pesanan, "kamu merasa better sekarang? After finishing that project?"
"...sedikit," Bian admitted. "At least gak panik soal deadline lagi."
"Good! See, kamu bisa kok. Cuma butuh right headspace." Hakan smiled. "I'm proud of you."
Bian blinked. "...kenapa?"
"Kenapa aku proud?" Hakan tilted head. "Karena aku tau struggle-nya. Creative block itu nightmare. Dan kamu overcome it. That's big."
YOU ARE READING
Error Script
Short StoryBian, seorang desainer grafis yang sedang dihimpit kegagalan dan utang, berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Saat ia hendak mengakhiri segalanya, seorang pria mabuk bernama Hakan menyelamatkannya-hampir membuat dirinya sendiri tewas. Pert...
Bab 3
Start from the beginning
