"Aku... aku gak mau jadi Aira," bisik Bian, voice breaking. "Aku gak mau... aku cowok. Aku straight. Ini gak... this is not who I am."
Tapi kalau cerita ini nyata...
Apakah dia punya pilihan?
Atau dia just... puppet, following script yang dia sendiri tulis 10 tahun lalu?
Bian merasakan panic attack datang—dada sesak, napas pendek, tangan gemetar.
"Aku... aku gak bisa breathe."
Dia coba teknik grounding—fokus ke napas, ke sensasi fisik.
In. Out. In. Out.
Perlahan, panic mereda sedikit.
Cukup untuk dia bisa think.
"Oke," katanya pelan, masih gemetar. "Oke, first things first."
"Aku harus... aku harus mastiin dulu ini nyata atau gak."
"Mungkin—hopefully—ini cuma kebetulan gila. Dan aku lagi overthinking karena stress."
"Aku harus investigate. Cari bukti."
Dia scroll ke character description Hakan lagi.
"Ayahnya meninggal 5 tahun lalu karena sakit jantung. Ibunya guru SD. Kakak perempuan, dokter, tinggal di Jakarta."
"Ini... ini detail yang aku belum tau tentang Hakan. Kalau ini bener..."
Maka cerita nyata.
Dan itu berarti Bian harus face reality:
• Hakan akan jatuh cinta padanya
• Bian supposed to jadi romantic interest Hakan
• Bian harus deal dengan... perasaan? Orientation? Identity crisis?
• Dan ending-nya—tragedy, heartbreak, suffering
"Aku gak mau," bisik Bian. "Aku gak mau semua ini."
Tapi universe gak peduli apa yang dia mau.
Dia menatap hape-nya—chat dengan Hakan masih terbuka.
Last message dari Hakan: "Text me anytime, oke?"
Cheerful. Warm. Caring.
Unaware of the storm in Bian's head.
Unaware bahwa mungkin—just mungkin—nasibnya sudah ditulis 10 tahun lalu.
Oleh Bian sendiri.
"Aku harus cari tau," Bian finally decided. "Pelan-pelan. Subtle. Aku gak bisa langsung tanya 'eh btw apakah hidup kamu match sama cerita yang aku tulis'."
"Aku harus... observasi. Ask questions naturally. Confirm details."
"Dan kalau ternyata..."
Kalau ternyata ini beneran nyata...
"...aku figure out nanti."
Tapi deep down, fear sudah mengakar.
Fear tentang cerita jadi kenyataan.
Fear tentang Hakan suffering.
Fear tentang dirinya sendiri—siapa dia, apa yang dia rasa, what it means kalau dia supposed to be in love story dengan cowok.
"Aku straight," bisiknya lagi, tapi suaranya less convincing sekarang.
"...right?"
Tapi dia gak yakin lagi.
Dan itu... itu mungkin yang paling menakutkan dari semuanya.
🩶
Bian berbaring di kasur, menatap plafon.
Jam 3 pagi. Dia gak bisa tidur.
Otak-nya terus replay hari ini.
Hakan's smile. His laugh. The way he looked at Bian through camera lens.
"Stop," Bian berbisik ke dirinya sendiri. "Stop thinking about him."
Tapi dia gak bisa.
Karena sekarang, every interaction dengan Hakan tainted dengan pertanyaan:
"Apakah ini part of the story?"
"Apakah perasaan ini real atau scripted?"
"Apakah aku... apakah aku attracted to him?"
"Gak," jawab Bian keras. "Aku gak attracted. Aku just... grateful. He saved my life. That's all."
Tapi ingatannya pergi ke moment di motor—arms around Hakan's waist, feeling secure.
Ke moment di Dago Pakar—Hakan smiling at him, calling him photogenic.
Ke warmth yang dia rasakan setiap kali Hakan texted him.
"That's just... that's just because I'm lonely," Bian rationalized. "Anyone would feel attached kalau ada orang yang caring like that."
"Doesn't mean I'm gay."
"Doesn't mean I like him like that."
Tapi doubt sudah mulai masuk.
Karena bagaimana kalau...
Bagaimana kalau cerita ini somehow revealing something tentang dirinya?
Something yang dia selama ini suppress atau deny?
"No," Bian menggeleng. "No, aku straight. Aku pernah suka cewek. Pas SMA. Pas kuliah."
Tapi inner voice bisik: "Suka atau cuma convince diri sendiri supposed to suka?"
"Fuck," Bian menutupi wajahnya dengan bantal.
Ini terlalu banyak.
Terlalu overwhelming.
Cerita jadi kenyataan.
Hakan's fate.
His own sexuality.
Identity crisis.
"Aku... aku gak bisa deal dengan ini sendirian," bisiknya.
Tapi dia gak bisa cerita ke siapa-siapa.
Siapa yang bakal percaya?
"Oh hey, jadi aku nulis cerita 10 tahun lalu dan sekarang hidup aku literally following that plot, also I might be gay now, help?"
Insane.
Dia harus handle ini sendiri.
Step pertama: confirm kalau cerita ini nyata atau gak.
Step kedua... dia belum tau.
Dia cuma hope—desperately—ini cuma coincidence.
Dan hidupnya bisa balik normal.
Whatever "normal" means now.
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Error Script
Kısa HikayeBian, seorang desainer grafis yang sedang dihimpit kegagalan dan utang, berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Saat ia hendak mengakhiri segalanya, seorang pria mabuk bernama Hakan menyelamatkannya-hampir membuat dirinya sendiri tewas. Pert...
Bab 3
En başından başla
