Dia melihat Hakan duduk di pojok, tepat seperti yang dia bilang—sedang main hape, sesekali melihat ke arah jalan seperti menunggu seseorang.

Bian mendekat.

Hakan langsung mendongak—dan wajahnya langsung cerah.

"Bian! Sini sini!" Dia melambaikan tangan, tersenyum lebar.

Bian duduk di seberang dia.

"Kamu cepet juga. Aku kira bakal telat karena masih kerja," Hakan berkomentar, menaruh hape-nya.

"...Aku gak jadi kerja."

"Still stuck?"

"...Yeah."

"Understandable. Mungkin otak kamu butuh istirahat dulu." Hakan mengambil menu—selembar kertas laminated dengan daftar bakso dan harga. "Oke, ini menu-nya. Rekomendasiku: bakso urat atau bakso campur. Kuahnya mantep banget, pedes-nya pas."

"...Oke."

Mereka memesan—Bian pesan bakso urat, Hakan pesan bakso campur. Dua es teh manis.

Sambil menunggu pesanan datang, mereka duduk dalam keheningan yang surprisingly comfortable.

Hakan memainkan sedotan es teh-nya, Bian menatap jalanan yang ramai.

"Thanks ya udah mau dateng," Hakan tiba-tiba bilang, suaranya lebih pelan dari biasanya. "Aku tau kamu mungkin lelah dan mau istirahat, tapi... aku appreciate banget kamu nyempetin waktu."

"...Gak apa-apa. Aku juga... butuh keluar dari kamar."

"Same. Kadang kerja sendiri di kamar tuh bikin sesek ya. Kayak dunia cuma sempit gitu." Hakan tersenyum kecil. "Makanya aku suka kerja di kafe atau keluar makan. At least ngerasa masih ada di dunia, gitu."

Bian mengangguk pelan.

He gets it.

Isolasi itu... suffocating.

Pesanan mereka datang—mangkuk bakso besar dengan kuah panas, bakso kenyal, mie, dan sayuran.

"Wah, ini dia!" Hakan langsung excited, mengambil sendok. "Coba deh, enak banget."

Bian mencoba—dan honestly, memang enak. Kuahnya gurih, bakso-nya kenyal dan besar, bumbu-nya pas.

"Enak, kan?" Hakan terlihat senang melihat reaksi Bian.

"...Yeah. Enak."

"Told you! Ini tempat favorit aku kalau lagi pengen comfort food."

Mereka makan dalam keheningan yang nyaman—sesekali Hakan berkomentar tentang betapa enak bakso-nya, atau cerita kecil tentang klien-nya hari ini, atau bertanya pendapat Bian tentang hal-hal random.

Bian tidak banyak bicara—dia never was much of a talker—tapi dia mendengarkan. Dan somehow, itu cukup.

Hakan tidak memaksa dia untuk bicara. Tidak memaksa dia untuk jadi seseorang yang dia bukan.

Hakan hanya... ada disana. Hadir. Comfortable.

Dan Bian menyadari—ini pertama kalinya dalam berbulan-bulan dia merasa... normal.

Bukan "orang yang lagi depresi dan harus berpura-pura baik-baik saja."

Bukan "freelancer yang gagal dan struggling."

Hanya... Bian. Makan bakso. Dengan seseorang yang peduli.

Simple. Tapi berarti.

🩶

Setelah selesai makan (Hakan yang bayar, despite Bian's weak protests), mereka keluar dari warung.

Malam sudah turun—langit Bandung gelap dengan sedikit bintang terlihat di antara polusi cahaya kota.

"Kamu mau jalan bareng atau naik ojol?" Hakan bertanya. "Kos aku deket sini, cuma 5 menit jalan. Kamu kan di Cisitu, lumayan jauh."

"...Aku jalan aja. Gak jauh-jauh amat."

"Oke. Aku temenin sampe jalan besar ya, at least." Hakan jalan di sebelah Bian—tangan di kantong, santai.

Mereka berjalan dalam keheningan—sounds of Bandung malam mengelilingi mereka. Motor lewat, warung-warung ramai, mahasiswa ketawa-ketawa di pinggir jalan.

"Bian," Hakan tiba-tiba bicara. "Aku... aku seneng hari ini. Ketemu kamu di warung, ngobrol, makan bareng. It's nice."

Bian menoleh. "...Kenapa?"

"Karena aku merasa less lonely, I guess." Hakan tersenyum—ada sedikit kesedihan disana. "Freelance life tuh kadang sepi banget. Kerja sendiri, makan sendiri, hidup sendiri. Sometimes I forget what it's like to just... hang out with someone. No agenda. Just being."

Bian merasakan sesuatu mengencang di dadanya.

Karena dia... dia merasa hal yang sama.

"...Same," dia bilang pelan. "Aku juga."

Hakan tersenyum lebih lebar—genuine, warm. "Then we should do this more often. Makan bareng, kerja bareng, or just ngobrol. If you want, of course. No pressure."

"...Oke."

"Really?"

"...Yeah."

Hakan terlihat senang luar biasa—seperti Bian baru saja memberikan hadiah terbaik di dunia.

Mereka sampai di jalan utama—jalan besar dengan lebih banyak kendaraan dan lampu.

"Oke, dari sini kamu bisa jalan sendiri kan?" Hakan bertanya.

"...Bisa. Makasih udah traktir."

"Anytime. Seriously." Hakan melambaikan tangan. "Hati-hati ya jalan pulangnya. Text aku kalau udah sampe?"

"...Oke."

"Good. See you soon, Bian."

"...See you."

Bian berjalan menuju Cisitu, sementara Hakan berjalan kembali ke arah kos-nya di Dago.

Bian menoleh sekali—melihat punggung Hakan menjauh, tangan masih di kantong, langkah santai.

Entah kenapa... Bian merasa reluctant untuk melihat dia pergi.

Aneh.

Dia menggelengkan kepala, melanjutkan perjalanan pulang.

🩶

Bian sampai di kos sekitar jam 7:30 malam.

Dia langsung text Hakan:

Bian:

"Udah sampe"

Balasan langsung datang:

Hakan:

"Good! Istirahat yang cukup ya. Jangan begadang kerja terus 😊"

Bian:

"...Oke"

Hakan:

"Good night, Bian ✨"

Bian menatap pesan itu lama.

Good night.

Kapan terakhir kali ada orang yang bilang good night ke dia?

Kapan terakhir kali ada orang yang peduli apakah dia sampai rumah dengan selamat?

Kapan terakhir kali dia merasa... cared for?

He doesn't remember.

Dia menaruh hape-nya, menatap laptop yang masih terbuka dengan file kosong.

Deadline besok.

Dia harus kerja.

Tapi untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu... dia merasa seperti mungkin, just maybe, dia bisa melakukannya.

Mungkin besok tidak akan seburuk hari ini.

Mungkin dia bisa bertahan.

Mungkin... mungkin everything will be okay.

He doesn't know for sure.

Tapi malam ini, dengan perut kenyang dan hati yang sedikit lebih ringan...

Malam ini dia bisa percaya itu.


Error ScriptDonde viven las historias. Descúbrelo ahora