Bian tidak tahu harus bilang apa.
Orang ini... terlalu baik. Terlalu tulus.
Mencurigakan, bahkan.
Tapi juga... menenangkan.
"...Terima kasih."
"Sama-sama!" Hakan kembali makan dengan ceria.
🩶
Setelah mereka selesai makan, Hakan tiba-tiba bicara dengan nada lebih serius:
"Bian... aku harap ini tidak terdengar lancang, tapi... kamu gimana? Maksudku, benar-benar gimana?"
Bian mendongak. "...maksudnya?"
"Maksudku... sejak malam itu." Hakan tidak menatapnya, berpura-pura menyesuaikan sesuatu di tas kameranya. "Aku tahu aku udah kirim pesan, tapi aku juga tahu kalau... masalah tidak hilang begitu saja dalam tiga hari."
Bian menegang.
"Kamu nggak harus cerita kalau nggak mau," Hakan cepat menambahkan. "Aku cuma... aku mau memastikan kamu baik-baik aja. Atau seenggaknya, bertahan."
Bian diam lama.
Lalu, mengejutkan dirinya sendiri, dia berbicara:
"...Aku masih nyoba."
Hakan menatapnya—sabar, tanpa tekanan.
"Masih... sulit," Bian melanjutkan, suara rendah. "Nggak ada yang benar-benar berubah. Aku masih punya... semua masalah yang sama. Uang, pekerjaan, semua."
"Ya. Aku kira begitu." Hakan mengangguk pelan. "Penyembuhan itu nggak linier. Dan kadang keadaan yang menghancurkan kita tidak secara ajaib memperbaiki diri sendiri."
Bian berkedip. Itu... persis seperti itu.
"Tapi," Hakan melanjutkan, "kamu masih disini. Kamu masih mencoba. Itu... itu luar biasa, Bian. Meskipun nggak terasa seperti itu."
Bian tidak tahu harus berkata apa.
"Dan aku tahu kita baru kenal, dan aku pada dasarnya orang asing, tapi..." Hakan menatapnya—sungguh-sungguh, tulus. "Kalau kamu butuh bantuan—seperti, bantuan nyata, bukan hanya dukungan moral—kabari aku. Oke? Aku mungkin tidak bisa menyelesaikan semuanya, tapi mungkin aku bisa bantu sedikit."
"...Kenapa?" Pertanyaan itu terlepas sebelum Bian bisa menghentikannya. "Kenapa kamu peduli? Kamu bahkan nggak kenal aku."
Hakan diam sebentar.
"Karena seseorang harus peduli," katanya sederhana. "Dan karena... aku tahu rasanya. Merasa seperti kamu tenggelam dan semua orang terlalu sibuk untuk menyadari."
Dia tersenyum—sedih, memahami.
"Jadi ya. Aku peduli. Terima saja."
Bian merasakan sesuatu retak di dadanya—bukan pecah, tapi... terbuka. Sedikit.
"...Oke."
"Bagus." Senyum Hakan menjadi lebih cerah. "Oh ya, kamu mau es teh? Aku traktir."
"...Aku bisa bayar sendiri."
"Aku tahu. Tapi biarin aku traktir. Anggap aja terima kasih karena kamu udah nyelamatin aku dari jatuh malam itu."
"...Kamu yang nyelamatin aku duluan."
"Kita saling nyelamatin. Jadi we're even. Tapi aku tetap mau traktir es teh." Hakan nyengir.
Bian menggeleng pelan, tapi ada senyum tipis di bibirnya.
"...Baiklah."
Hakan terlihat senang luar biasa—seperti Bian baru saja memberinya hadiah terbaik di dunia.
ESTÁS LEYENDO
Error Script
Historia CortaBian, seorang desainer grafis yang sedang dihimpit kegagalan dan utang, berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Saat ia hendak mengakhiri segalanya, seorang pria mabuk bernama Hakan menyelamatkannya-hampir membuat dirinya sendiri tewas. Pert...
