Rasanya... hambar. Atau mungkin dia yang sudah mati rasa.
Hape-nya bunyi.
Hakan:
"Eh Bian, kamu lagi dimana? Aku lagi di deket ITB nih, abis ketemu klien. Mau makan siang bareng?"
Bian menatap pesan itu.
Lagi?
Mereka baru ketemu tiga hari lalu. Dan Hakan sudah mengajak... kenalan? Makan bareng?
Ini aneh.
Tapi juga...
Dia menatap piring nasinya yang setengah kosong, warung yang sepi, dirinya yang sendirian.
Dengan ragu, dia balas:
Bian:
"Aku lagi makan di warung deket ITB. Warung Ibu Siti, tau gak?"
Hakan:
"OH AKU TAU! Aku sering makan disitu juga! Tunggu ya, aku kesana sebentar 😄"
Tunggu apa—
Sebelum Bian bisa protes, Hakan sudah typing lagi:
Hakan:
"Udah otw. 5 menit sampe!"
Lima menit kemudian, Hakan muncul—tinggi, rambut sedikit berantakan dari angin, kemeja lengan panjang digulung sampai siku, tas kamera di bahu.
Dia langsung tersenyum lebar ketika melihat Bian.
"Bian! Eh beneran disini!" Hakan mendekat, duduk di seberang Bian tanpa ragu. "Gila, what are the odds sih. Aku barusan selesai meeting di kantor klien deket sini, terus kepikiran makan siang, eh ternyata kamu juga disini!"
"...Iya."
"Kamu udah pesen? Aku pesen dulu ya." Hakan berdiri lagi, ke gerobak, memesan—nasi + ayam goreng + tempe + tahu + sayur + es teh manis.
Dia balik dengan piring penuh dan duduk lagi.
"Wah, aku laper banget. Dari pagi belum makan soalnya." Hakan mulai makan dengan lahap—antusias, energi tinggi, kontras banget sama Bian yang makan pelan dan diam.
"Kamu... sering makan disini?" Bian bertanya, lebih untuk mengisi keheningan.
"Lumayan sering. Murah, enak, porsi banyak. Cocok buat freelancer miskin kayak kita." Hakan nyengir. "Kamu juga sering?"
"Dulu. Sekarang... kadang-kadang."
"Same. Budget freelance kan naik turun ya." Hakan mengangguk paham. "Bulan ini lagi oke, bulan depan bisa jadi makan mie instan terus."
Bian hampir tersenyum mendengar itu—terlalu relate.
"Kamu lagi ngerjain apa?" Hakan bertanya sambil makan.
"Proyek logo. Masih stuck."
"Ah, creative block masih belum hilang?"
"...Belum."
"Understandable. Kadang otak butuh break." Hakan minum es teh-nya. "Mungkin kamu terlalu stress mikirin deadlines dan uang. Hard to be creative kalau lagi anxiety mode."
Bian diam.
Itu... sangat akurat.
"Anyway," Hakan melanjutkan, "kalau kamu butuh orang buat brainstorming atau sekedar second opinion, boleh lho tanya aku. Aku bukan desainer grafis, tapi photographer juga butuh sense of composition sama warna. Mungkin bisa bantu?"
"...Kenapa kamu mau bantu?"
Hakan berhenti makan sebentar, menatap Bian dengan ekspresi tulus.
"Karena kita sesama creative freelancer yang struggling. Kita harus saling support, dong." Dia tersenyum. "Plus, aku suka bantu orang. Bikin aku merasa berguna."
ESTÁS LEYENDO
Error Script
Historia CortaBian, seorang desainer grafis yang sedang dihimpit kegagalan dan utang, berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Saat ia hendak mengakhiri segalanya, seorang pria mabuk bernama Hakan menyelamatkannya-hampir membuat dirinya sendiri tewas. Pert...
