Apa gunanya hidup kalau dia bahkan tidak bisa melakukan satu hal yang seharusnya dia kuasai?
Dia mencoba menelepon teman—tidak ada jawaban.
Mencoba mengirim pesan ke teman lain—di-read tanpa balasan.
Semua orang sibuk. Semua orang punya hidup sendiri. Masalah sendiri.
Dan Bian hanya... sendirian.
Tenggelam sendirian.
Menjelang sore, kepanikan berubah menjadi mati rasa.
Pikiran-pikiran datang—sunyi, berbahaya:
"Mungkin lebih baik kalau aku hanya... berhenti."
"Tidak ada yang benar-benar akan merindukanku."
"Aku hanya beban saja."
"Orang tua akan lebih lega tidak perlu khawatir tentangku."
"Adik bisa dapat lebih banyak perhatian."
"Teman-teman tidak akan menyadari. Kami jarang bicara lagi."
Pikiran-pikiran itu menjadi lebih keras. Lebih meyakinkan.
Dan sebelum dia sadari, dia sedang berjalan.
Berjalan ke Dago.
Berjalan ke jembatan penyeberangan.
Berjalan ke tepi.
🩶
Bian menggelengkan kepala, menarik dirinya keluar dari ingatan itu.
Itu tiga hari lalu.
Tiga hari, dan tidak ada yang benar-benar berubah.
Dia masih tidak punya uang. Masih punya tunggakan sewa. Masih punya klien yang menghilang.
Tapi... ada yang berbeda.
Hakan.
Orang asing yang aneh, canggung, peduli itu yang secara harfiah menabrak momen terendahnya.
Yang mengiriminya pesan setiap hari sejak itu.
Yang entah bagaimana membuatnya merasa... kurang sendirian.
Bian menatap hape-nya—pesan terakhir dari Hakan:
Hakan:
"Pagi! Udah sarapan? (Jangan bilang kopi doang ya 😅)"
Meski begitu, bibir Bian berkedut.
Sedikit.
Hampir senyum.
Perutnya berbunyi—keras, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak kemarin siang (mie instan yang terakhir).
Dia menatap dompet di meja—beberapa lembar uang kertas kusut.
Rp 50.000-an juga beberapa lembar recehan. Sisanya ada di rekening bank (Rp 247.000 yang harus dia save untuk bayar utang).
Tapi dia perlu keluar. Perlu udara segar. Perlu... sesuatu selain empat dinding kamar kos yang sesak ini.
Dia ambil jaket-nya.
Keluar. Beli makan di warung. Jalan-jalan sebentar.
🩶
Bian berakhir di warung makan kecil di pinggir jalan dekat kampus ITB—tempat yang biasa dia datangi pas masih punya uang (atau pas mau ngutang).
Tempatnya sederhana—beberapa meja plastik, gerobak dengan berbagai lauk, harga terjangkau.
Dia pesan nasi + tempe + tahu + sayur (total: Rp 15.000—affordable).
Duduk di pojok, sendirian, makan pelan-pelan.
YOU ARE READING
Error Script
Short StoryBian, seorang desainer grafis yang sedang dihimpit kegagalan dan utang, berdiri di pinggir jembatan penyeberangan Dago. Saat ia hendak mengakhiri segalanya, seorang pria mabuk bernama Hakan menyelamatkannya-hampir membuat dirinya sendiri tewas. Pert...
Bab 2
Start from the beginning
