"...Ini revisi yang ketiga, Pak."

"Iya, maaf ya. Kami cuma mau yang sempurna."

Sempurna. Benar.

Revisi keempat. Kelima. Keenam.

Tidak ada bayaran tambahan. Hanya "eksposur" dan "proyek masa depan" (yang tidak pernah terwujud).

Bian menghabiskan dua minggu lebih untuk proyek yang awalnya diberi waktu satu minggu.

Dan ketika akhirnya selesai? Klien bilang mereka akan "memproses pembayaran segera."

Segera. Selalu segera.

Tidak pernah sekarang.

FLASHBACK - 3 HARI SEBELUM JEMBATAN:

Pesan dari pemilik kos:

"Mas Bian, maaf mengganggu. Untuk pembayaran sewa bulan ini dan bulan lalu yang belum lunas, mohon segera dilunasi ya. Kalau sampai akhir minggu belum ada pembayaran, saya terpaksa minta Mas Bian untuk mencari kos lain. Terima kasih."

Bian menatap pesan itu.

Pengusiran.

Dia akan diusir.

Mau kemana dia?

Dia mencoba menelepon klien yang menghilang—langsung ke voicemail.

Mencoba mengirim pesan—tidak ada balasan.

Mencoba mengecek platform freelance untuk pekerjaan baru—tidak ada yang sesuai anggaran, semuanya terlalu kompetitif, terlalu banyak orang menawar lebih murah.

Dia membuka aplikasi mobile banking lagi.

Rp 380.000.

Itu saja. Itu semua yang dia punya.

Hanya cukup untuk makan—entah sampai kapan. Tidak bisa bayar sewa. Tidak bisa melakukan apapun.

Panik mulai merayap masuk—sesak dada yang familiar, napas yang pendek, perasaan tenggelam yang luar biasa.

Dia mencoba bekerja. Mencoba fokus pada proyek baru. Mencoba produktif.

Tapi tangannya gemetar. Penglihatannya kabur.

Untuk apa?

Dia sudah berusaha begitu keras. Bekerja begitu keras. Dan itu tidak pernah cukup.

Tidak pernah cukup.

HARI JEMBATAN:

Bian bangun dengan email lain—penolakan proyek.

"Terima kasih atas submisi Anda, tapi kami memutuskan untuk bekerja dengan desainer lain. Kami menghargai waktu Anda."

Lagi.

Dia menghabiskan tiga hari untuk proposal itu. Tidak dibayar. Hanya untuk kesempatan.

Dan mereka memilih orang lain.

Dia mengecek hape-nya—pesan dari warung langganan tempat dia biasa makan:

"Mas Bian, utangnya sudah lumayan banyak nih. Tolong dilunasi ya, atau kami tidak bisa kasih utang lagi."

Dia mengecek email-nya—tagihan lain. Pengingat lain. Penolakan lain.

Rasanya seperti dunia sedang menutup.

Dia mencoba bekerja. Dia membuka Photoshop. Menatap kanvas kosong.

Tidak ada yang keluar.

Kreativitasnya—satu-satunya keahliannya, satu-satunya nilainya—hilang.

Error ScriptWhere stories live. Discover now