Kartu nama.

Dia sodorkan ke Bian dengan kedua tangan—somehow formal despite everything. "Ini."

Bian natap kartu itu. Masih ragu. Gak tau harus gimana.

"Aku... aku tau ini mungkin kedengeran aneh," Hakan ngomong, suaranya pelan tapi sincere. Careful. "Kita baru kenal, literally sejam yang lalu, dalam situasi yang... super gak normal."

Bian almost laughs at that understatement.

"Tapi," Hakan lanjut, "kalo kamu ngerasa down lagi, atau butuh ngobrol, atau bahkan cuma butuh company, atau... anything. Please kontak aku. Oke?"

Bian pelan-pelan ngambil kartu itu.

Textured cardstock. Simple design.

Di kartu tertulis:

HAKAN SADYA RAHSA

Photographer

[Nomor HP]

[Email]

IG: @hakansadya

Font-nya clean, modern. Ada small logo camera di pojok. Professional tapi kerasa... warm.

Very Hakan, somehow. Meski Bian baru kenal dia sejam.

"Kamu gak harus langsung kontak aku sekarang. Atau besok. Atau kapanpun," Hakan ngelanjutin, voice soft. "Tapi at least... kamu punya option. Kamu gak sendirian. Oke?"

Bian natap kartu itu lama.

HAKAN SADYA RAHSA

Nama yang... entah kenapa feels familiar. Tapi Bian terlalu exhausted buat mikir kenapa.

Dia masukin kartu itu ke kantong hoodie-nya dengan hati-hati.

"...Oke."

Hakan tersenyum—relieved, genuine.

Mobil terus jalan. Lewat Dago, belok ke arah Cisitu. Jalanan sepi. Occasional street light.

"Kamu... photographer?" Bian tanya tiba-tiba, surprising himself.

"Oh. Iya." Hakan kedengeran agak surprised juga—maybe gak expect Bian bakal ngajak ngobrol. "Freelance. Wedding, product, portrait, kadang event. Apa aja yang bayar basically." Dia ketawa kecil. "Kamu?"

"...Graphic designer. Freelance juga."

"Oh, nice. Kita both creative field then."

"...Iya."

Silence lagi. Tapi gak terlalu berat than before.

"Kamu... tadi dari mana?" Bian tanya lagi—gak tau kenapa dia keep asking. Mungkin distraction. Mungkin genuine curiosity.

"Bar di Dago. Temen-temen lama gathering." Hakan pause. "...Anniversary."

"Anniversary?"

"Temen aku. SMA." Hakan's voice drops a little. "Dia... dia meninggal beberapa tahun lalu. Jadi every year we gather, drinking, remember him."

Bian diam.

"Dia..." Hakan hesitate, then continues, voice quiet. "Dia ngelakuin... hal yang hampir kamu lakuin tadi."

Bian's breath caught.

"Dan aku gak bisa ngelakuin apa-apa. Aku gak tau dia se-down itu. Gak ada yang tau. Dan tiba-tiba dia... gone." Hakan natap tangannya sendiri. "Jadi malem itu, aku minum—too much, obviously—terus jalan pulang sambil mikir tentang dia. Terus aku liat kamu dan..."

Dia gak nerusin. Gak perlu.

"Instinct aku cuma... 'not again. Please not again.'" Hakan ketawa—sad, bitter. "Meski ternyata aku hampir ngajak kamu mati juga. Great job, Hakan."

Error ScriptWhere stories live. Discover now