Vox_Nox berseragam SMA merapatkan kedua kakinya, berdiri dalam sikap yang hampir anggun meski seragamnya tak selaras dengan suasana labirin kelam di sekelilingnya.
Dari posisinya, Vox_Nox berseragam SMA menatap taman sunyi di tengah gedung. Sebuah courtyard berisi tanaman-tanaman pakis, kursi kayu, dan kolam koi yang dulunya pasti menjadi ruang relaksasi para karyawan sebelum dunia runtuh. Sekarang tamannya berubah menjadi arena kematian; bangkai kadal raksasa masih tergeletak di dekat undakan menuju aula direksi, menguarkan aroma logam dan lumut busuk. Puing-puing bangunan menumpuk di sisi kolam, membunuh ikan di dalamnya sekaligus menutup akses air dari artesis. Pohon-pohon tumbang, menghancurkan sebidang tanah, menyisakan akar menyeruak keluar, dan rontokan daun kering. Tamannya berantakan.
Koenrad duduk tak jauh dari sana, di bawah naungan pohon ceri. Ia menurunkan tubuhnya dan beristirahat sejenak. Wajah paruh bayanya tampak lembut namun terluka, seperti seseorang yang telah memikul terlalu banyak perjalanan panjang sebelum akhirnya tiba di titik ini. Kelelahannya terpancar bukan hanya dari napas tersengalnya, tetapi juga cara ia memegang pedangnya.
Di pinggir taman, Paracetamol duduk di sebuah batu pipih. Kedua tangannya cekatan menggesekkan Pisces Blade pada batu asah yang basah, menghasilkan suara menggerus berulang-ulang. Kilatan baja sesekali menembus gelap, lalu redup kembali.
Paracetamol berusaha memperpanjang durabilitas pedangnya menggunakan batu asah dari shop.
"Katamu, kamu kehilangan putramu, dan mau mencarinya di sini?" Vox_Nox berseragam SMA berkata lembut sambil menyuguhkan senyum yang entah tulus atau hanya hiasan wajahnya.
Koenrad mengangkat kepalanya sedikit dan mengangguk. "Benar."
Vox_Nox berseragam SMA mencari tempat beristirahat di seberang Koenrad, dan pada akhirnya memutuskan untuk duduk di undakan beton.
"Dan bagaimana kamu kehilangan putramu?" tanya Vox_Nox berseragam SMA.
Senyumnya tak berubah. Tapi melodi bicaranya menyentuh sebuah tebakan liar. Sebuah asumsi yang, bagi siapa pun di muka Bumi setelah kiamat Zodiac, cukup mudah ditebak. Kehancuran lintas benua, kebakaran antar kota, keluarga tercerai-berai tanpa kesempatan kembali. Ia melihat semua itu hanya sebagai gambaran umum dari tragedi dunia baru.
Tentu saja, pikirnya, Koenrad mungkin salah satu korban bencana raya. Ia kehilangan anaknya. Ia adalah yang mencoba bertahan dari kiamat Zodiac sambil membawa luka.
Tapi jawaban Koenrad tidak demikian.
"Itu ... jauh sebelum kiamat Zodiac terjadi," kata Koenrad, pelan. Suaranya bergetar halus, menggambarkan suara dari seseorang yang telah lama mengubur suatu cerita. "Aku terpisah dari putraku sejak dia dilahirkan."
Hening menjalar di udara.
Vox_Nox berseragam SMA membuang pandangannya ke langit labirin. Langit pseudo, disinari oleh cahaya satelit Voyager II dan redupnya bulan purnama. Cahaya itu jatuh di pipinya, memberikan kesan absurd; gadis SMA dengan pita rambut mungil sedang memikirkan kesedihan seorang ayah asing di tengah gedung korporat yang mencari-cari anaknya di seluruh muka Bumi, tanpa arah. Tanpa navigasi. Hanya mengandalkan peruntungan.
Ah, pikirnya, itu tidak realistis. Tidak masuk akal. Mencari seorang anak manusia di antara reruntuhan dunia, di belantara kekacauan apokaliptik, di labirin yang bahkan sistem IU tidak bisa baca. Di sebuah misi buatan komplotan manusia congkak.
Pengakuan Koenrad terdengar gila sekaligus putus asa.
"Siapa namamu, Nona Muda?" Koenrad akhirnya bertanya, memecah jeda itu.
Vox_Nox berseragam SMA tersentak sedikit, lalu mengembalikan senyumnya seperti mesin otomatis yang kembali hidup. "Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Purbasari. Dan laki-laki muka ketus di sana namanya Elian."
YOU ARE READING
The REQUIEM Protocol: A Game that Ended the World
Science FictionDi tengah kekacauan global, seorang mahasiswa biasa bernama Nathaniel, tanpa sengaja, mengaktifkan REQUIEM. Sebuah protokol keselamatan umat manusia yang terkubur dalam server terlupakan NASA. Protokol ini adalah lapisan tersembunyi dunia, diciptaka...
