- 75

64 10 40
                                        

Langkah Nathaniel menjejak pasir Mesir untuk pertama kalinya.

Negara ini, yang dahulu berbangga pada Sphinx Agung Giza, Sungai Nil, dan kuil Karnak, kini menjadi wilayah side quest tak bertepi. Setelah meletusnya kiamat Zodiac, Mesir berubah menjadi gudang quest-quest bagus, mulai dari berburu makhluk mitologi yang kabur dari catatan papirus, hingga melacak artefak kuno di Valley of The Kings, tempat Tutankhamun dimakamkan.

Para Player berduyun-duyun datang ke Mesir, sebab level yang bisa dipompa dari side quest Mesir sangat menjanjikan, bahkan untuk persiapan Dominion Raid berikutnya. Namun bagi Nathaniel, alasannya datang ke Mesir cukup sederhana—ia tidak mengejar level, tidak pula item. Ia hanya penasaran. Di balik quest sepele di Mesir, ada kemungkinan ia bisa bersua dengan Cassini, meski tak secara langsung.

Nathaniel tak berharap bertemu Cassini—secara teknis, itu tidak mungkin. Nathaniel hanya ingin melihat caranya dalam memimpin sebuah server. Apakah Cassini bisa ditemui di antara para Player seperti Starlink, atau Cassini seburuk Sputnik dalam memimpin server—dugaan ini kuat, mengingat Cassini pernah menyelusup ke realitas Downfall Project untuk menghambat kemenangan Player—atau malah, Cassini punya karakternya sendiri.

"Di sini, bintang-bintangnya banyak sekali," gumam Σ Boy sambil menengadah, menyaksikan bentang alam semesta di atas kepalanya.

Paracetamol dan Ling mengikuti arah pandang Σ Boy, dan apa yang mereka temui adalah lautan kosmik berwarna hitam. Nathaniel mendongak terlambat, namun begitu ia menatap, ia merasa napasnya terenggut.

Nathaniel melihat bukan langit Bumi pada malam-malam biasanya—ini merupakab langit yang telah dibuka lapisan-lapisan tirainya, menyingkap sebuah wilayah astronomi. Seakan Bima Sakti telah bergeser, merapat ke struktur kosmik lebih padat; superklaster virgo atau bahkan Laniakea, wilayah tempat ribuan galaksi berkelindan.

Titik-titik bintang memenuhi setiap jengkal pandangan. Terlalu banyak, terlalu rapat, hingga langit tampak seperti kanvas hitam, dipaku oleh miliaran cahaya putih keperakan. Intensitasnya tidak normal—bintang-bintang di atas sana tidak sekadar berkelip, mereka bersinar dengan ketajaman cahaya terang benderang.

Bahkan Paracetamol mendongak terlalu lama, mungkin jatuh cinta.

Bahkan, cahaya bulan dan cahaya satelit Cassini yang memantul di padang pasir kalah oleh gemuruh cahaya kosmik di sekitarnya.

Di antara rimba cahaya itu, Nathaniel merasa melihat sesuatu, sebuah kemustahilan, yakni tatanan bintang yang berputar seperti pusaran mata hitam, dikelilingi cincin terang asimetris. Ia mengenali pola itu dari ingatan astronomi populernya—galaksi Black Eye, Messier 64.

Bentuknya khas, menyerupai bola mata raksasa, dihiasi lingkaran hitam pekat di tengahnya. Skema serupa galaksi Black Eye muncul jelas di langit Mesir, bak galaksi itu mendekat, atau justru Bumi yang ditarik ke arahnya.

Masalahnya, menurut Nathaniel, cahaya Black Eye bukan sekadar indah, tetapi juga mencekam, memberi kesan bahwa langit sedang menatap kembali pada mereka, menelanjangi jiwa mereka di bawah tatapannya.

Dan di depan sana, piramida Giza berdiri gagah, menantang waktu, meski bagian atasnya retak dan dinding-dindingnya dipenuhi retakan akibat kiamat Zodiac.

Bulan menggantung rendah, membasuh sisi piramida dengan cahaya keperakan pucat. Namun yang lebih mencolok adalah sinar lain—sinar buatan, dingin, dan tajam—jatuh dari langit, berputar mengelilingi Bumi. Satelit Cassini.

Σ Boy menoleh ke kanan dan kiri, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu sesuatu, menyelidiki. Gedung-gedung tinggi di sepanjang jalanan Giza Plateau menjulang sunyi seperti kerangka besi dan beton. Jendela-jendela pecah, menggantung setengah, sementara sebagian lainnya dibiarkan menganga bagaikan mata kosong yang menatap lurus tanpa arah.

The REQUIEM Protocol: A Game that Ended the WorldWhere stories live. Discover now